Jumat, 06 Juni 2008

SENI, ILMU PENGETAHUAN DAN PERADABAN

Bambang Sugiharto[*]


Membicarakan ‘seni’ sebagai sesuatu yang penting, apalagi pokok, selalu terasa berlebihan. Sebabnya adalah karena seni umumnya dianggap sekedar sebagai hiburan dan hiasan. Sebagai hiburan, pentingnya seni hanyalah untuk membuat hati senang dan pikiran tenang, membantu kita untuk sejenak melarikan diri dari persoalan. Sebagai hiasan, pentingnya seni hanyalah untuk membuat diri tampil lebih menawan, atau membuat suasana terasa lebih nyaman. Begitulah, sebagai hiburan dan hiasan, seni berkait erat dengan urusan kesenangan, keindahan atau sekedar soal kemasan. Karena itu sesungguhnyalah ia tak teramat penting, kebutuhan ketujuh atau kesepuluh, suatu kemewahan. Ia hanya berarti, bila segala kebutuhan pokok sudah tercukupi.
Namun bahkan bagi mereka yang berkecimpung di bidang seni sekalipun, persoalannya kurang-lebih sama juga : mendudukan seni sebagai sesuatu yang penting dalam peradaban kini bukan lagi sesuatu yang sederhana, bahkan mungkin terasa mengada-ada. Pasalnya adalah konon ‘Seni sudah berakhir’, kata Arthur Danto, Victor Burgin, Joseph Kosuth, Hal Foster atawa Adorno.[1] Betapa tidak, dalam kehidupan yang kian dikelola oleh pasar, seni telah menjadi sekedar siasat pemasaran, atau lebih gawat lagi, strategi pembiusan, demi meraih berbagai keuntungan ( keuntungan ekonomi, juga politik, sosial, bahkan keagamaan). Sementara pada bentuknya yang paling serius pun –yang biasa disebut ‘Seni Kontemporer’- memang tak lagi jelas bedanya mana karya yang sungguh-sungguh ‘seni’, mana yang sekedar perilaku ganjil tak senonoh dari orang-orang frustrasi, kehilangan identitas atau sakit jiwa, yang mencari perhatian secara kekanak-kanakan. Tak heran bila bagi sementara orang, kalau pun seni masih ada, maka itu hanya terdapat pada karya-karya ‘adiluhung’, ‘klasik’ atau pun ‘modern’, yang bercitarasa keindahan tinggi dan halus (sublime). Dan di luar itu adalah sampah.[2]
Meskipun demikian, itu semua hanyalah pandangan selintas kesan. Dan kesan macam itu tak mesti sepenuhnya relevan; dari sisi tertentu bahkan menunjukkan kenaifan pemahaman dan kesempitan wawasan. Dalam sejarahnya, kata ‘seni’ memang telah mengalami berbagai perubahan konotasi. Bila kita telusuri sejenak berbagai perubahan itu maka kita dapat melihat gejala yang disebut ‘seni’ itu pada tingkat yang lebih dalam, lebih lentur, beserta perannya dalam kehidupan dan peradaban.

Seni Dalam lintasan sejarah
Pada dasarnya apa yang disebut ‘seni’ dan ‘bukan seni’ sudah selalu relatif dan terkait erat pada konstruksi budaya setempat. Batasan-batasan kategorial tentangnya bukanlah sebuah keniscayaan umum yang tak terganggu gugat. Sebuah keris, wayang atau gamelan, bagi masyarakat Jawa adalah ‘seni tinggi’ , berbobot filsafati dan merupakan produk kerja kontemplasi. Di dunia Barat kerap kali ia dianggap sekedar produk kriya, paling banter hanya penting sebagai artefak antropologi atau data penunjang etnografi. Sama halnya kaligrafi, yang di Cina, Jepang atau Arab merupakan seni tinggi dengan bobot spiritual mendalam, di dunia Barat tidaklah dianggap karya seni yang cukup berarti.
Namun pada skala umum konsep tentang seni pun memang berubah-ubah sepanjang sejarah. Dalam alam religiomitik-pramodern seni menyatu dengan segala kegiatan kehidupan sehari-hari, ia mengurusi sejak perkara pernak-pernik sesajen hingga misteri hidup dan mati. Di sini karakter umum seni itu simbolis dan langgam dasarnya dekoratif. Simbolis, sebab yang ditangkap bukanlah medan rupa seperti tampaknya, melainkan enerji batin di baliknya, misteri ilahi yang memancar dari auranya.[3] Dekoratif, sebab seni berfungsi menggarisbawahi suasana perayaan bersama. Itu sebabnya pula sosok senimannya tak teramat penting disana. Semua adalah dari dan untuk bersama. Dalam hal ini seni bukan pertama-tama menyangkut benda, melainkan menunjuk pada keseluruhan peristiwa, dimana kata, gerak, nada dan benda saling berkomunikasi, saling merasuki, menjadi mantra dan keajaiban upacara. Di sini seni menyatu dengan agama, filsafat dan pengetahuan, seperti yang masih kita saksikan jejak-jejaknya macam di Bali, Toraja atau Papua.
Dalam alam modern, itu semua berubah. Seni menjadi sesuatu yang lain. Kehidupan modern bersandar pada pemilahan-pemilahan tegas antar segala. Seni menjadi kegiatan mandiri, terpisah dari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Seni menjadi medan penggalian makna hidup yang bersifat sangat pribadi, cermin kebebasan individu, perpaduan unik antara kehalusan rasa, kecanggihan keterampilan, ketakterdugaan imajinasi dan kecerdasan intelegensi seseorang yang disebut ‘seniman’ ( seni menjadi suatu profesi). Seni menjadi eksklusif dan elitis : sosoknya bukan lagi sebuah ‘peristiwa’, melainkan sebuah ‘karya’, produk para jenius, dengan tandatangan yang demikian prestisius, dan hanya dapat diapresiasi oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan khusus. Bentuknya pun dipilah-pilah, menjadi seni lukis, seni patung, teater, sastra, tari, musik, dst., yang kelak masing-masing menemukan evolusinya sendiri-sendiri juga. Dan ketika di alam modern akhirnya agama semakin kehilangan wibawa, tersingkir oleh pesona filsafat dan kekuatan ilmu pengetahuan, seni otomatis mengambil-alih peran agama : seni menjadi medan eksplorasi kehidupan batin (spiritualitas), lengkap dengan lembaganya (museum, galeri,dsb) dan para ‘nabi’nya (para maestro). Untuk merenungi hakekat adikarya para jenius itu dibutuhkan kemampuan mengambil jarak kontemplatif dan kesanggupan melepaskan segala kepentingan (disinterested). ‘Kegunaan’ seni terletak pada ‘ketidakbergunaan’nya, ujar Adorno. Hanya dengan cara perenungan tanpa pamrih macam itulah konon kita dapat menangkap dimensi kedalaman batin yang paling halus, tersembunyi dan penting, di balik sebuah mahakarya ( the sublime: the unthinkable, yet inevitable).[4] Yang menarik adalah bahwa konsekuensi dari karakter reflektif seni moderen macam ini akhirnya membawa seni ke perumusan ulang terus menerus ihwal apa artinya ‘seni’ dan ‘berkesenian’ itu. Maka dalam era modern kita menyaksikan aliran demi aliran saling menolak dan baku-bantai. Dalam seni rupa, Impresionisme disusul Ekspresionisme, disangkal oleh Kubisme, diperdalam oleh Abstraksionisme, dibubarkan oleh Dadaisme,dst.dst. Alhasil, istilah ‘keindahan’ atawa ‘harmoni’ akhirnya tidak lagi penting. Yang penting adalah eksplorasi teknis dan filosofis. Musik, dari pengurasan kemungkinan musikal ala musik klasik akhirnya bergeser ke perenungan mendalam tentang ‘hakekat’ musik, fenomena ‘bunyi’ atau pun peran ‘sunyi’. Maka karya John Cage hanyalah sepotong ‘sunyi’, dan pemusik kontemporer Toni Prabowo menyetubuhi ‘bunyi’. Tarian, dari penataan simbolik gerak-indah menjadi upaya pencarian hakekat ‘gerak’ itu sendiri. Maka seniman tari Sardono W.Kusumo gemar berkubang di lumpur , di pantai atau menggelinding-gelinding di jalanan. Melukis, dari meniru benda-benda di luar-sana berubah menjadi petualangan ke alam ‘persepsi’, ke lapisan-lapisan terdalam jiwa , akhirnya ke ambang-ambang batas rasa sakit, kegilaan dan kematian.[5] Maka Chris Burden menciptakan karya berupa kegiatan menembak dirinya sendiri, Rudolph Schwarzkögler menyayati kemaluannya hingga mati, dan Günther von Hagens memamerkan 200 mayat yang diplastinasi. Sastra dan teater, dari olah konsep, karakter dan narasi pengalaman eksistensial berubah menjadi problematisasi bahasa, fiksi dan fakta itu sendiri. Maka teatrawan Antonin Artaud menggebuk bahasa, novelis Jorge Luis Borges mengacaukan fiksi dan fakta, penulis George Bataille mengaduk-aduk logika.
Kini, di era yang biasa disebut dengan istilah ‘Postmodern’ yang kontroversial itu, seni seperti melepaskan diri dari dunia intelektualistik-elitisnya yang sulit dimengerti, ia melebur kembali ke habitatnya semula : kehidupan sehari-hari. Sejak gerakan ‘anti-seni’ Marcell Duchamp menggelar pispot dan velg sepeda, sejak Warhol melukis kaleng sup ‘campbell’ dalam ukuran raksasa, sejak Performance Art masuk ke dalam kegiatan hidup sehari-hari yang biasa , mana ‘seni’ dan ‘bukan seni’ menjadi sulit membedakannya. Seni kembali menjadi bagian dari denyut kehidupan sehari-hari yang biasa.
Dalam tradisi Estetika Barat, seni telah selalu dimengerti sebagai ars (keterampilan), tékhnê (keahlian) dan berkaitan erat dengan ‘keindahan’. Yang sering lupa ditekankan adalah bahwa seni terutama berkaitan dengan ‘penciptaan’ (poein), dan akar kata ‘Estetika’ adalah aisthesthai , yang artinya adalah ‘persepsi’. Seni terutama adalah soal ‘menciptakan persepsi’ baru. Ia lebih terkait dengan ‘kebenaran’ kehidupan, daripada dengan ‘keindahan’.[6] Bukan kebenaran dalam arti kebenaran moral (Kebenaran yang diidealkan dan dinormakan), bukan pula kebenaran ilmiah (kebenaran yang dipolakan), melainkan kebenaran ‘eksistensial’ : kebenaran tentang ‘kehidupan ini sesungguhnya apa’ sejauh dialami, direnungkan, dirasakan dan diimpikan ( realitas Lebenswelt, kata Husserl).[7] Disini seni bernilai terutama karena ia mampu mengungkapkan hal-hal penting yang tak mungkin diungkapkan, melukiskan hal-hal yang dialami namun tak terpikirkan, tapi sekaligus kreatif menciptakan kembali terus-menerus kemungkinan-kemungkinan baru untuk memandang dan menghayati kenyataan. Pada sisi ini indah atau tidak indah tak lagi teramat relevan. Itulah sebabnya istilah ‘seni’ dalam kehidupan sehari-hari dikenakan pada berbagai kegiatan macam ‘seni memasak’, ‘seni merangkai bunga’, ‘seni berbicara’, ‘seni berpolitik’,dsb. Ia menunjuk pada keterampilan dan keahlian mencipta ulang dan menyiasati kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Pada titik inilah seni berkaitan erat juga dengan kegiatan ilmiah , teknologi dan seluruh denyut peradaban.

Seni, Ilmu dan Teknologi
Secara umum seni adalah proses berpikir melalui perasaan dan imajinasi. Berkat Fenomenologi Hussrelian kini kita menyadari bahwa kenyataan pertama dan paling dasar kehidupan adalah ‘kehidupan yang dialami dan dirasakan’ pada tingkat pra-reflektif dan pra-teoretis. Rekaman pengalaman kehidupan konkrit utama dan pertama yang langsung, mendalam dan padat itu antara lain adalah ‘perasaan’, alias emosi, hasrat dan gairah. Dunia versi ilmu hanyalah salah satu tafsiran saja atas kenyataan primer yang langsung dialami itu. Dunia dan kehidupan bukanlah ‘obyek’ yang daripadanya bisa kita tarik ‘hukum-hukum’nya. Dunia dan kehidupan adalah latar belakang dan medan segala pemikiran kita, sesuatu yang senantiasa menjadi bagian intim dalam diri, dan kita sudah selalu demikian menyatu dengannya. Dan kesatuan asasi itu muncul dalam ‘perasaan’,’imajinasi’ dan ‘perilaku’. [8] Pengalaman primer ini seringkali lebih tepat ‘dilukiskan’ lewat karya seni (novel, teater, musik, lukisan,dsb), daripada ‘dijelaskan’ oleh ungkapan ‘obyektif’ ilmiah, yang memang tak mungkin. Karena sifatnya yang selalu ‘umum’, penjelasan ilmiah atas kehidupan selalu terasa terlampau tipis, terpola dan abstrak dibandingkan dengan pelukisan lewat karya seni, yang selalu lebih tebal, menyentuh, konkrit dan tak terduga.
Dalam alam berpikir ilmiah-modern lama sekali ‘perasaan’ dicurigai bahkan didiskreditkan sebagai unsur irrasional yang bisa mengganggu bahkan membutakan penalaran dan ‘obyektivitas’. Namun adalah Michael Polanyi yang menyadarkan kita bahwa bahkan dalam kegiatan ilmiah pun selalu ada unsur perasaan, gairah dan hasrat (passion, desire, emotion) yang demikian menentukan. Dalam kegiatan ilmiah unsur perasaan itu berperan selektif, heuristik dan persuasif. Selektif, karena perasaanlah (intuisi) yang memberi isyarat apakah suatu penelitian itu berharga atau tidak berharga, layak ditekuni atau tidak, data mana yang kira-kira relevan dan persoalan mana yang mungkin dipecahkan. Heuristik (penggunaan cara di luar kelaziman sistem), karena penelitian yang mencari penemuan baru selalu membutuhkan keberanian untuk mengubah cara berpikir. Keberanian ini adalah juga soal perasaan. Persuasif, sebab setiap temuan baru perlu dikomunikasikan, dibela dan diperjuangkan agar dapat diterima dan diakui oleh komunitas ilmuwan. Dan disini perasaan ikut menentukan cara bagaimana temuan itu harus dikomunikasikan. Sebuah pembaharuan konsep, teorema atau pun aksioma, seringkali baru bisa diterima karena ketepatan metafora yang digunakan, elegansa penalaran, serta korelasi imajinatif-rasawi dari model yang digunakan. Dan semua itu adalah soal ketepatan perasaan dan imajinasi, soal ‘seni’ menyiasati medan dan kenyataan, ‘seni’ merumuskan dan melukiskan hal yang awalnya tak terrumuskan dan tak terbayangkan.[9]
Namun relevansi paradigma estetik atau seni umumnya terutama terasa pada ilmu-ilmu sosial-budaya atau ilmu-ilmu kemanusiaan (Human Sciences). Ketika di awal millennium ketiga ini ideologi-ideologi besar telah ambruk, dasar-dasar metafisik-transendental kehilangan kepercayaan, kerangka-kerangka makna tradisional tak lagi bergigi, sedang kanon-kanon kebenaran pun tak lagi pasti, maka ilmu-ilmu yang berurusan dengan manusialah yang justru harus berperan memegang kendali. Ilmu-ilmu yang dahulu disebut ‘Humaniora’ (ilmu yang membuat manusia lebih manusiawi), yakni Filsafat, Sejarah, Studi Agama, Sastra, Seni dan Bahasa, perlulah diberikan sebagai kajian kritis atas riwayat panjang pergumulan batin manusia, serentak peluang terbuka ke arah penciptaan diri individu yang matang. Di sini pulalah paradigma estetik menjadi sentral sebagai “Aesthetics of Existence”, yaitu proses penciptaan diri dan kehidupan sebagai karya seni pribadi; proses mengelola perasaan, imajinasi dan hasrat untuk mengartikulasikan pengalaman dan merumuskan pemikiran; proses menjajagi secara kritis dan imajinatif berbagai kemungkinan menjelaskan dan memberi makna kenyataan.[10] Dalam rangka itu, bahkan ilmu-ilmu pasti dan ilmu teknik pun bisa diajarkan sebagai permainan menjajagi bermacam tawaran kemungkinan memahami dan merekayasa kenyataan macam itu, bukan proses penjejalan ‘hukum alam’ dengan segala pretensi keniscayaannya yang pasti dan abadi.
Akan halnya di bidang teknologi, seni berperan penting di sana karena teknologi adalah sesuatu yang didesain. Aktivitas perancangan dan rekayasa itu selalu melibatkan imajinasi artistik karena berurusan banyak dengan olah-bentuk, olah-fungsi dan olah- makna. Tapi teknologi berkait erat dengan seni terutama karena teknologi adalah sarana pembentuk dan penyampai substansi ‘isi’ (pesan). Itu terutama terasa dalam teknologi komputer dan televisi dimana substansi isi itu ( game, internet, acara TV, dsb) tidak hanya ditentukan oleh kemajuan teknik, melainkan terutama oleh keterampilan dan visi artistik.[11] Lebih jauh lagi, makna teknologi terutama terletak pada dampak praksisnya, yang telah mengubah tata-nilai, cara bersikap, cara merasa dan pola-pola hubungan dalam dunia manusia hingga ke tingkat yang teramat pelik. Sedemikian pelik dampak itu hingga untuk memahaminya, mengandalkan kajian teoretik ilmiah saja akan terlalu steril dan kerdil. Pada titik inilah karya-karya seni dalam bentuk novel, seni-rupa, teater, film,dsb. seringkali lebih mampu melukiskan secara effektif bagi kesadaran, imajinasi dan hati, kepelikan dan kompleksitas dunia tekno-praksis tadi: resiko yang mendalam dari teknologi; kemungkinan barunya yang menjanjikan sekaligus menakutkan; kemampuannya mengubah tatanilai, perasaan dan imajinasi; korban-korbannya; ketaksaannya, dsb.

Peradaban
Akar pengalaman estetik sebenarnya adalah pengalaman keseharian, terutama pengalaman tentang sisi dramatik dinamika gerak dan perubahan kehidupan[12]. Kecemasan orang yang berkerumun saat melihat kecelakaan di jalanan. Ketegangan penonton saat mengikuti lompatan-lompatan bola dalam permainan sepak-bola. Keharuan seseorang saat melihat bunga pertama menyeruak dari tanaman yang selalu disiraminya. Perasaan aneh saat melihat api membesar ketika kita siramkan minyak ke atas bara. Kepekaan atas medan bentuk serta pengalaman atas gerak-denyut kehidupan macam itulah akar dari kesadaran estetik dan kecenderungan berkesenian. Itulah pengalaman-pengalaman yang membuka indera manusia pada kaitan-kaitan halus terselubung antar berbagai kejadian, yang menggiringnya pada perenungan lebih mendalam ihwal misteri alam dan kehidupan, yang menjebaknya pada keharuan-keharuan tanpa alasan atas matahari, angin, tanaman atau pun hujan, tapi juga yang mendorongnya sampai pada pemikiran-pemikiran paling imajinatif dan brilian.
Pengalaman macam itulah yang akhirnya mengubah sikap reaktif menjadi kreatif, pola reseptif menjadi formatif. Maka semesta yang ditangkapnya lantas dirayakan dan diungkapkannya juga dalam medan bentuk, rupa, kata, gerak dan nada; diukirnya pada batu, kayu, tubuh atau pun dinding gua. Bahkan perang pun dirayakannya dengan dekor misteri hidup dan mati : dihiasnya tubuh, tombak atau pun perisai dengan warna-warni. Alhasil dunia manusia adalah dunia ‘bentuk’ yang diciptakannya. Dan ‘seni’ adalah segala upaya untuk memberi bentuk manusiawi pada hidup dan semesta, berbagai cara membiakan aspirasi batin lewat penciptaan benda dan peristiwa. Dan dunia yang diciptakannya itu diubahnya kembali setiap kali, karena perubahan situasi dan kondisi, tapi juga karena hidup memang sebuah proses ‘menjadi’, proses pertumbuhan ruh ke tingkat lebih halus dan lebih tinggi. Maka jingkrak-jingkrak spontan kebahagiaan yang tak terkoordinasi berubah menjadi tarian, gerak komunikasi tubuh tanpa bentuk menjadi perilaku santun terpolakan, seruan rasa yang kacau menjadi bahasa pelik sarat gagasan, pencerapan ukuran diberinya bentuk matematis-geometris demi penghitungan. Sistem-sistem nilai pun ditata ulang kembali setiap kali. Kekerasan , dari simbol kekuatan berubah menjadi isyarat kelemahan; sedang mereka yang lemah, awalnya dianggap sebagai pihak yang kalah, perlahan berubah, menjadi pihak yang wajib dilindungi, bahkan wajah suci sapaan ilahi. Kekejaman pedang harus berhenti dihadapan lawan yang tak berdaya. Memaafkan menjadi lebih mulia daripada balas-dendam .
Demikianlah, seni, sebagai tendensi kreatif umum untuk membentuk dunia manusia menjadi lebih manusiawi akhirnya menghasilkan rasa ‘keberadaban’, suatu tolok ukur umum evolusi kemanusiaan. Tak mengherankan bila filsuf macam Friedrich Schiller menyebut tingkat tertinggi peradaban sebagai Aesthetic State, suatu situasi hidup bersama yang dikelola oleh rasa ‘keindahan terdalam’. Disana, katanya, peradaban adalah situasi dimana manusia sebagai Ruh semakin mampu memandang lebih dalam aspek keRuhaniannya, dimana kekuasaan berubah menjadi kepedulian, nafsu menjadi komitmen cinta, hasrat menjadi solidaritas, sedang kerendahan hati dan belarasa menjadi sesuatu yang sangat mulia.[13]
Seni akhirnya adalah soal makin tajamnya kesadaran makna dan nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam semesta, bentuk perilaku manusia, tapi juga bentuk sistem dogma, bentuk kehidupan bersama, dsb. Imajinasi kreatif yang menggerakannya adalah juga yang melahirkan ilmu dan teknologi, segala sistem kepercayaan dan sistem-sistem gagasan, artinya, yang membentuk seluruh gerak kebudayaan dan peradaban. Dalam arti luas, seni adalah berbagai siasat untuk memasuki kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lebih dalam atas pengalaman, kesemestaan dan kemanusiaan. Pada titik ini ‘keindahan’ hanyalah kata lain untuk ‘kebenaran’ dan ‘kebaikan’.

[*] Prof.Dr. Bambang Sugiharto, pengajar filsafatdi UNPAR dan ITB

Catatan

[1] Tengoklah berbagai pendakuan macam itu antara lain pada Victor Burgin, The End of Art Theory: Criticism and Postmodernity ( Atlantic Highlands, NJ : Humanities Press nternational, 1986); Arthur Danto, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York : Columbia University Press, 1986), atau Hal Foster, The Anti-Aesthetic : Essays on Postmodern Culture (New York : New Press, 1983).
[2] Lihatlah berbagai artikel dalam Ahmad Norma (ed), Seni, Politik, Pemberontakan (Yogyakarta : Bentang, 1998), terutama artikel Barbara Rose , “Protes dalam Seni”, hlm 106-26. Dan pandangan macam ini sebetulnya beredar luas di kalangan mereka yang sangat memuja seni klasik dan modern, di dunia Barat tapi juga di Indonesia.
[3] Kecenderungan masyarakat pra-modern untuk mendistorsi bentuk hingga menjadi sangat stilistik bukanlah cermin ketidakakuratan perceptual mereka, melainkan ungkapan intensi mereka untuk menampilkan interioritas di balik bentuk fisik, aura sacral-misterius di balik tampilan material.
[4] Pandangan modern tentang apresiasi seni macam ini terutama diolah dengan canggih oleh Immanuel Kant ( abad 18) dan selanjutnya menjadi semacam doktrin umum Estetika Modern.
[5] Produk seni mutakhir banyak sekali diwarnai kegilaan, kekerasan dan kematian. Telaah atas tendensi negatif ini telah banyak ditulis orang. Salah satu yang menarik adalah tulisan Paul Virilio, Art and Fear, (London : Continuum, 2000)
[6] Fokus pada ‘keindahan’ dalam seni berakar pada filsafat Thomas Aquinas yang Aristotelian yang memadankan keindahan, dengan kebenaran dan kebaikan (Pulchrum,Verum, Bonum), namun selanjutnya mendapat penekanan berlebihan dalam tradisi Barat sejak Alexander Gottlieb Baumgarten mencanangkan istilah ‘Estetika’ di abad 18.
[7] Proyek fenomenologi Hussrel sebetulnya bermaksud mencari dasar tak tergugat bagi kepastian ilmu pengetahuan (strenge wissenschaft) namun yang akhirnya ia temukan adalah pengalaman pra-reflektif di balik segala tafsiran kita, suatu realitas yang ia sebut Lebenswelt, yakni dunia kehidupan yang dihayati secara konkrit dan langsung, yang mendahului segala kegiatan pemikiran dan tafsiran kita atasnya. Bandingkan E.Husserl, Cartesian Meditations, terj. David Cairns (The Hague : Martinus Nijhoff, 1960) hlm. 136-37
[8] Ini terutama adalah penelusuran fenomenologis lebih lanjut dari Merleau-Ponty, lihat Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, terj. Colin Smith (New York : The Humanities Press, 1962) hlm viii-xi
[9] Lihat Michael Polanyi, Personal Knowledge (London : Routledge and Kegan Paul, 1969) hlm 143-59; juga perlu dilihat bahwa dalam pembentukan teori, terminologi baru beserta model yang menyertainya, imajinasi metaforik -seperti yang berperan di bidang seni- sangatlah ikut menentukan. Bandingkan Max Black, dalam A.Ortony (ed), Metaphor and Thought ( Cambridge : Cambridge University Press, 1993) dan Marry B. Hesse, Models and Analogies in Science ( Notre Dame,IN : University of Notre Dame Press, 1966)
[10] ‘Aesthetics of Existence” adalah inspirasi dari tradisi Nietzschean, yang lebih lanjut banyak dikembangkan oleh kaum post-strukturalis macam Michel Foucault, Derrida atau pun Roland Barthes.
[11] “The Medium is the message”, kata Marshall McLuhan, artinya bahwa konstruksi teknologi itu sendiri akhirnya menentukan substansi macam apa yang dimungkinkan beredar dan dikomunikasikan. Telaah lebih dalam mengenai ini lihat Eric McLuhan, Essential McLuhan ( Concord : House of Anansi Press Ltd, 1995)
[12] John Dewey membahas dengan mendalam dan cemerlang keterkaitan antara estetika dan pengalaman keseharian. Disana sempat ia katakana bahwa karya-karya seni besar adalah ‘paradigma pengalaman’. Lihat John Dewey, Art as Experience ( New York : Perigee Book, 1934)
[13] Lihat Friedrich Schiller, “ On the Aesthetic Education of Man” dalam David E.Cooper (ed), Aesthetics, the Classic Readings (Oxford : Blakwell Publishers Ltd, 1997) hlm123-136


Kepustakaan

Burgin, Victor, The End of Art Theory : Criticism and Postmodernity ( Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press International, 1986)
Cooper, David (ed), Aesthetics, the Classic Readings (Oxford : Blackwell Publishers Ltd, 1997)
Danto, Arthur, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York : Columbia University Press, 1986)
Dewey, John, Art as Experience (New York : Perigee Book,1934)
Foster, Hal, The Anti-Aeshetic : Essays on Postmodern Culture ( New York: New Press, 1983)
Hesse, Mary B., Models and Analogies in Science (Notre Dame, IN : University of Notre Dame Press, 1966)
Husserl, Edmund, Cartesian Meditations (The Hague : Martinus Nijhoff,1960)
McLuhan, Eric, Essential McLuhan (Concord : House of Anansi Press Ltd, 1995)
Merleau-Ponty, Maurice, Phenomenology of Perception (New York : The Humanities Press,1962)
Norma, Ahmad, Seni, Politik, Pemberontakan ( Yogyakarta : Bentang, 1998)
Ortony, A, Metaphor and Thought (Cambridge : Cambridge University Press, 1993)
Polanyi, Michael, Personal Knowledge (London : Routledge and Kegan Paul, 1969)
Virilio, Paul, Art and Fear (London : Continuum, 2000)

SENI, LINGKUNGAN DAN SKIZOFRENIA

Oleh : Bambang Sugiharto

Hal yang demikian dekat dengan kita seringkali justru jauh dari kesadaran. Layaknya ikan sulit menyadari dan memahami air, manusia modern pun harus melalui perjalanan panjang berputar untuk menyadari pentingnya lingkungan. Manusia modern dan lingkungan alam memang senantiasa berada dalam tegangan: antara melepaskan diri darinya atau justru meleburkan diri ke dalamnya, antara titik berat pada kultur atau menjadi bagian dinamis dalam natur. Dunia seni adalah manifestasi menarik dari tegangan macam itu.
Di satu pihak manusia modern menyadari misteri, keunikan dan pesona alam semesta umumnya melalui representasi artistiknya berupa lukisan, foto, musik, video atau pun film; di pihak lain kerangka artistik modern sendiri justru bertendensi kuat kian menghilangkan lingkungan alam sebagai bahan refleksinya (sebagai subject matter-nya). Ketika terlepas dari agama dan menjadi suatu wilayah otonom tersendiri dalam kiprah peradaban manusia, seni modern berangsur-angsur kian terlepas dari eksterioritas dan menyuruk kian mendalam ke wilayah interioritas, terperangkap dalam inflasi individu, dan memasuki wilayah skizofrenia yang ambigu dan kadang berbahaya.

Modernitas, estetika dan alam
Sekurang-kurangnya sejak abad 17 hingga 18, dualisme Cartesian demikian kuat menguasai sikap manusia terhadap lingkungan alam. Alam adalah realitas wadag material, res extensa; sedangkan manusia, terutama akalnya, adalah realitas batin, pikiran-non-material, res-cogitans . Dualisme yang telah mengompori kinerja ilmiah awal ini lantas berselingkuh dengan kepentingan teknologi dan kapitalisme, sehingga kian terlembagalah pola sikap Subyek-Obyek : manusia adalah subyek, alam adalah obyek belaka, medan untuk ditaklukan, dieksplorasi dan dieksploitasi. Maka alam kehilangan pesona magisnya, kehidupan kehilangan misterinya. Pusat gravitasi adalah manusia, dengan segala kepentingannya.
Di sisi lain, sikap epistemologis-teknis macam itu diimbangi oleh sikap estetis, yang justru menghargai lingkungan alam. Memang tampak paradoks. Perspektif klasik estetika abad 18, yang menggumpal pada Immanuel Kant, meyakini bahwa yang pokok dalam apresiasi estetis adalah sikap “tanpa kepentingan” ( disinterestedness), yaitu sikap yang melepaskan diri dari kepentingan sehari-hari yang teknis dan praktis atau pun kepentingan pribadi. Lingkungan , baik urban, rural, atau pun belantara hutan, dilihat sebagai sesuatu yang sublim dan indah. Namun disini lingkungan alam sebenarnya tetaplah juga diapresiasi secara formalistik sebagai medan obyek, dan terutama sebagai lanskap, yang berkarakter picturesque. Pada abad ini memang ada juga orang seperti J.J.Rousseau, yang melihat lebih jauh, yakni melihat alam sebagai setting kodrat manusia yang lebih otentik ketimbang setting kultural iptek modern, yang dianggapnya meracuni potensi-potensi natural manusia. Namun pandangan macam ini baru menemukan gaungnya yang tepat kelak di abad 19 pada masa Romantik.
Romantisisme abad 19 memang jatuh cinta pada alam . Henry David Thoreau atau juga John Muir misalnya, dengan cara yang berbeda, menekankan pentingnya interaksi dengan alam liar. Alam liar bagi mereka lebih tinggi daripada peradaban dan kultur manusia. Interaksi non-eksploitatif dengan alam itu akan membawa transformasi penting bagi dunia manusia. Darwin bahkan mendudukkan manusia sekedar sebagai salah satu unsur saja dalam alam. Sementara alam sudah dilihatnya sebagai berbagai unsur yang saling tergantung satu sama lain. Di sisi lain, para pengritik budaya modern teknologis macam Herder, Goethe, Humboldt atau pun Schiller, kendati cenderung menganggap modernitas sebagai dangkal dan non-reflektif, toh tetap juga memberi prioritas lebih pada kultur ketimbang natur, pada seni ketimbang teknologi. Seperti halnya Hegel, yang dalam sistem filsafatnya juga tetap memprioritaskan realitas artifaktual sebagai antitesis atas realitas natural. Tapi pada Nietzsche agak lain. Dalam kerangka berpikirnya kultur, seni dan natur bukanlah hal-hal bertentangan. Ketika dikritiknya bahwa peradaban modern (Zivilisation) adalah proses de-naturalisasi insting dan de-intellektualisasi kultur, maka bagi Nietzsche kultur yang sebenarnya haruslah merupakan manifestasi dari insting natural daya-daya hidup, dan itu pula kekuatan yang mesti diungkapkan seni. Kendati semua itu, secara umum pola apresiasi terhadap alam dalam karya seni tetaplah : subyek terhadap obyek artifaktual seni. Artinya alam tampil dalam representasi artistiknya.
Di penghujung abad 19 tendensi ambivalen macam di atas itu mulai menghilang dalam style baru yang muncul saat itu : “impressionisme”. Sebabnya karena alam sendiri sebagai obyek mulai menyublim disana. Munculnya kamera foto saat itu mengakibatkan pola “mimetis” dan konsep “representasi” dalam kiprah seni menjadi problematis. Maka para seniman lantas asyik mempersoalkan misteri “persepsi” itu sendiri. Timbullah gagasan bahwa melukis, misalnya, bukan berarti menangkap realitas wujud dalam arti harfiah fisikalnya, melainkan menangkap kesan sesaat: menangkap cuaca, cahaya, kabut, udara, kontur imaji total dalam momen-momen yang berlari, kesemantaraan yang tidak abadi. Ada pergeseran titik berat disana, dari visualitas ke impressi jiwa; dari benda ke suasana.
Pergeseran dari eksterioritas ke interioritas ini makin radikal dalam “ekspressionisme” yang masuk lebih ke dalam , memberi tekanan berat pada reaksi mental, emosi, gelegak energi si seniman pribadi. Maka, atas nama ekspressi, obyek pun didistorsi sesuka senimannya. Kalau pun alam menjadi obyeknya, bukan alam itu sendiri yang penting, melainkan disposisi mental sang seniman (van Gogh, dsb), atau upaya untuk mengundang reaksi emosi dan rasa dari sang pemirsa(Matisse, Derain,dsb). Dan tendensi ini kian mengkristal dalam “abstraksionisme”. Disana aspek representasi obyek di luar hilang sama sekali. Yang terjadi lantas hanyalah eksplorasi ruang batin pada tingkatnya yang paling sublim, gelap dan misterius, yang tak terpikirkan sekaligus tak terelakkan (Kandinsky, Rothko, Pollock,dsb) . Ironisnya, di sisi lain abstraksionisme adalah juga renungan atas elemen-elemen dasar bentuk, rupa dan materialitas itu sendiri juga (Malevich, Mondrian, Kurt Schwitters,dll). Maka yang terjadi disini sebenarnya adalah proses interiorisasi subyek sekaligus penyelaman ke balik obyek. Kalau pun masih ada jejak-jejak obyek luaran disana, itu muncul dalam bentuk reduksinya ke dalam elemen-elemen dasarnya belaka.
Di abad 20, sejak pasca Perang Dunia I dan II, Dadaisme, dan revolusi kaum muda tahun 60-an, terjadi perubahan mendasar ihwal hubungan antara seni dan lingkungan di luarnya. Dari sudut bentuk terjadi eksplorasi segala kemungkinan baru, yang bahkan menerabas segala batasan kategorial modern. Ini khususnya terasa intens dalam tendensi Avantgardisme. Lukisan dua-dimensi dibongkar , berubah menjadi “kolase”; kolase menjadi “assemblase” 3 dimensi; assemblase tumpah keluar bidang kanvas dan tergerai di lantai menjadi “installasi”; installasi menjelma menjadi gerak dalam “performance-art” atau happening. Di awal abad 21 performance-art akhirnya ke luar dari ruang eksklusifnya menjadi aksi sosial dalam segala banalitas konteksnya. Yang terjadi di sini adalah lenyapnya batas angker antara dunia seni yang eksklusif dan situasi sehari-hari. Pola apresiasi seni pun berubah total bukan lagi sekedar Subyek terhadap Obyek, melainkan Subyek terhadap Setting . Seni menjadi peristiwa kolektif dalam setting multisensoris totalnya.

Permasalahannya
Ketika seni menyatu kembali dengan denyut kehidupan sehari-hari, tentu peluang bagi seni untuk mencebur kembali dengan alam pun besar. Masalahnya adalah bahwa, sejak impressionisme hingga berbagai bentuk avantgardisnya, seni modern terlanjur demikian kuat terperangkap dalam kerangka interioritas dunia manusia. Seni mengalami “inflasi individu” sedemikian hingga terasa narsistik. Ia menjadi semacam petualangan kedalam lapisan-lapisan psike paling tersembunyi dalam diri, wilayah gelap yang paling tabu, tak terduga dan liar ( Rudolf Schwarzkogler yang menyayati kemaluannya hingga mati, misalnya, atau Vito Acconci yang merekam dirinya bermasturbasi) . Ia bermain dengan ambang batas daya toleransi kejiwaan dan kebertubuhan (Stelarc yang menggantung tubuhnya dengan kail-kail besar, misalnya),serta mengeksplorasi wilayah insting-insting paling purba, ganas dan keras. Konsekuensi dari ini semua adalah makin lenyapnya alam dalam karya seni, dan sekaligus makin besar tendensi skizofrenia alias kegila-gilaan disana. Karya seni bukan hanya mengeksplorasi wilayah kegilaan, melainkan sendirinya juga berkarakter skizofrenik. Tengoklah karya-karya macam body-art dari Chris Burden (yang menembak dirinya sendiri), atau performance-art dari Carolee Schneeman (yang memasuk-keluarkan benda tertentu ke dalam vaginanya), teater Artaudian yang mengeksplorasi impuls-impuls tubuh dan emosi paling liar, atau film-film Peter Greenaway dan Jarman yang persis memainkan ambiguitas pengalaman-pengalaman liminal tubuh, emosi dan imajinasi. Tak mengherankan bahwa akhirnya dunia seni macam ini melahirkan pula seni-mayat seperti yang dipamerkan seniman ahli bedah Günther von Hagens, yang karya seninya berupa 200-an mayat yang telah diplastinasi menjadi berbagai patung tubuh. Semua gejala ini akhirnya juga memaksa para apresiator awam memasuki ambang-batas daya tahan psikenya sendiri juga.
Yang terjadi di sini lantas bukan hanya seni kehilangan dimensi transendensi, melainkan bahwa ia tenggelam dalam medan imanensi: imanensi dunia manusia, tapi juga imanensi dunia seni yang eksklusif itu sendiri. Seni terus-menerus memperkarakan dirinya sendiri saja, lantas menjadi begitu akrab bukan saja dengan naluri kegilaan, melainkan juga dengan naluri-naluri kematian. Bukan hanya para senimannya menyiksa diri sampai mati atau mengeksplorasi kematian, setiap aliran pun saling mencurigai bahkan saling bantai. Yang muncul, khususnya dalam Avantgardisme, akhirnya hanyalah sensasi demi sensasi, tanpa isi. Tidaklah mengherankan bahwa seni modern sendiri pun akhirnya “mati” (kata Arthur Danto).
Dalam seni modern memang kategori “keindahan” tak lagi dipedulikan, diganti “kebermaknaan”, “kebenaran” (kebenaran eksistensial) atau pun sensasi permukaan ( the erotics , kata Susan Sontag). Dan memang sulit sekali mengapresiasi keindahan dalam karya-karya modern yang kadang demikian brutal itu. Tentu saja fokus kuat pada kebenaran eksistensial ini bukan tanpa nilai. Ia telah membawa seni memasuki medan reflektivitas manusia ke tema-tema dan kedalaman paling tersembunyi dan paling tak terduga, yang dalam karya-karya besar klasik tak pernah dieksplorasi dan diolah secara demikian eksplisit. Dan fokus terhadap kebenaran eksistensial itu pula yang akhirnya telah membawa seni melebur kembali dalam banalitas hidup sehari-hari, yang pantas disyukuri. Sayangnya, ketika ia telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari ia cenderung menjadi gerakan-gerakan sosial biasa. Pada titik ini ia pun terancam kehilangan kekuatan craftsmanshipnya, dan dengan itu kehilangan pula daya magis-metaforiknya, lantas jatuh menjadi sekedar aktivisme yang kelewat harfiah belaka. Singkatnya, permasalahan seni modern terletak pada narsisismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekedar rangkaian sensasi, hilangnya sisi “keindahan” dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.
Aspek keindahan dan kekuatan metaforik mestinya tetaplah penting dalam seni. Hanya saja keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekedar keindahan kompositoris atau picturesque bentuk visual, tapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan effektif dalam membuka kesadaran. Keindahan penting karena ia adalah cara paling efektif dimensi transendensi menyentuh indera batin kita; sekaligus cara manusia keluar dari keterpenjaraan intern-nya dan menyatu dengan Ruh Semesta, dengan Anima Mundi, dengan dunia batin alam yang lebih luas. Sedang metafor penting karena ia merangsang proses transformasi kesadaran ke tingkat lebih tinggi, proses de-literalisasi kenyataan sehari-hari, yang memungkinkan kita melihat hal yang lebih jauh dan lebih besar di balik hal-hal fisik yang tampak sepele. Bila keindahan dan kekuatan metaforik tetap diperhitungkan dalam praktik berkesenian, maka lebih mudah agaknya seni menggamit kembali realitas di luarnya: lingkungan semesta, bahkan keilahian kosmik transendental.

Kiblat baru berkesenian
Ketika periode avantgard modern berlalu, dalam kiprah seni kontemporer pasca modernisme hari ini sebenarnya kepedulian terhadap alam memang makin besar. Alam digunakan sebagai bagian integral dari patung, tarian, teater atau pun installasi, dan menjadi inspirasi utama pula dalam berbagai bentuk kerja desain. Sepertinya seniman mutakhir saat ini tak lagi sedemikian terkungkung oleh individualitasnya. Sosok karya seni pun bukan lagi semata berupa entitas artifaktual mandiri, melainkan sering pula berupa proses dan interaksi. Nilai karya seni Christo yang umumnya berupa instalasi-instalasi raksasa dalam setting alam, misalnya (Layar raksasa yang membentangi perbukitan atau mem-frame pulau-pulau), terletak bukan saja pada nilai kekaryaan monumental dari seorang seniman bernama Christo, melainkan juga pada daya gugah puitiknya bagi kesadaran pemirsa terhadap alam, sekaligus pada seluruh proses kerja Christo yang melibatkan demikian banyak pihak dan tahapan proses birokrasi. Totalitas proses dan interaksi macam itu pula yang menandai kebermaknaan proyek-proyek teater-lingkungan dari seniman macam Richard Schechner , proyek tarian Sardono W. Kusumo, aksi tanam pohon Tisna Sanjaya, kiprah Arahmaiani di desa-desa di jawa tengah, atau bahkan dalam pembuatan film-film Garin Nugroho, misalnya. Dan berkat makin gencarnya gerakan environmentalisme, kiprah kesenian pun makin banyak menggarap tema dan perspektif lingkungan.
Namun dalam kaitan dengan lingkungan, barangkali yang lebih radikal menentukan keterkaitan antara seni dan lingkungan sebenarnya adalah imajinasi metafisik di balik konsep “seni” dan “berkesenian” itu sendiri. Selagi seni tetap dimengerti sebagai reflektivitas dan virtuositas individual seperti dibayangkan dalam kerangka estetika Aufklärung Kantian, maka seni akan tetap urusan para genius yang langka, suatu kemewahan elitis, yang hanya pantas dipandangi di etalase galeri, museum atau pun panggung-panggung kesenian bergengsi, tanpa sungguh-sungguh bisa diapresiasi dan dipahami kebanyakan orang, tanpa relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
Pada titik ini pandangan metafisik tradisional pra-modern tentang kesenian justru menjadi sangat menarik dan relevan. Seperti masih banyak kita saksikan di daerah-daerah, macam di Bali, Toraja atau pun Asmat, seni bukanlah semata-mata perkara teknis, skill dan virtuositas, karenanya bukanlah hanya urusan para genius. Seni bukan pula soal perspektif disinterested berjarak, melainkan justru sebaliknya, soal keterlibatan total dalam lingkungan, yang dasarnya adalah imajinasi metafisik yang berkarakter monistik : bahwa manusia adalah bagian dari totalitas kenyataan kehidupan yang satu jua; bahwa segenap realitas adalah totalitas yang berjiwa. Disini seni lantas adalah perayaan hubungan ruhani kosmik itu, adalah aktivitas-aktivitas olah-bentuk dalam rangka memberi dimensi batin pada benda-benda dan peristiwa. Dalam kerangka macam ini seni lantas adalah urusan semua orang. Seni bukan pertama-tama soal kepiawaian, melainkan soal ritual dan perayaan. Kecanggihan teknis bernilai dalam rangka intensifikasi perayaan itu. Dalam perspektif ini bukan para seniman yang merupakan manusia istimewa, melainkan setiap manusia adalah seniman istimewa. Yang dianggap karya seni pun bukan lagi sekedar obyek artifaktual tertentu, melainkan keseluruhan proses dan interaksi yang terjadi, keseluruhan unsur dan peristiwa. Seni bukan pula ekspressi pribadi yang idiocyncratic, melainkan proses artikulasi diri-komunal, yang setiap kali mendefinisikan ulang hakekat kesatuan dasariah antara manusia dan alam, realitas mikro dan realitas makro; proses me-recharge ruh individu maupun kolektif dengan menyatukannya setiap kali dengan Anima Mundi. Kesenian adalah aneka ritual yang setiap kali mengingatkan kembali misteri, kerumitan, keagungan dan keindahan daya-daya kosmik transendental. Maka disini kepekaan estetik adalah sekaligus kepekaan terhadap yang sakral.
Maka agaknya seni akan bisa lebih total menggamit kembali lingkungan alam kini hanya bila seni kontemporer dapat bersekutu kembali dengan khasanah dan worldview metafisik tradisional macam itu. Berbagai gejala ke arah sana telah muncul dimana-mana, entah dalam rupa ritualisme baru, performance art sebagai gerakan sosial atau pun berbagai eksperimen yang mensenyawakan ruh tradisional dengan seni kontemporer. Dan disana yang menjadi kunci akhirnya adalah bahwa krisis ekologis fisik sebenarnya berakar pada masalah krisis spiritual. Bukanlah kebetulan, bahwa ketika seni modern terlepas dari medan spiritual ia menjadi teramat akrab dengan naluri-naluri kematian, penghancuran dan kegilaan. Namun di sisi lain ini tak mesti berarti bahwa lantas seni mesti dikait-kaitkan dengan agama. Medan spiritual jauh lebih luas dan lebih misterius ketimbang yang sempat diartikulasikan oleh agama. Bahkan pada titik tertentu agama sebagai pelembagaan spiritualitas bisa justru mematikan dinamika spiritual yang otentik dan membunuh seni juga , atas nama legalisme formal, ritualisme, dogmatisme, dsb. Yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana seni mampu di satu pihak mengartikulasikan gejolak batin kolektif yang otentik, di pihak lain sekaligus menghadirkan dimensi transendensi ke dalam realitas sehari-hari. Demikian transendensi, keindahan dan kekuatan metaforis agaknya bukanlah hal yang kedaluarsa. Sebaliknya, itu tetaplah unsur-unsur esensial yang menjaga kebermaknaan dan kesehatan kesenian dan dunia manusia.

Bambang Sugiharto, pengajar Filsafat di Unpar dan ITB, Bandung.