Jumat, 06 Juni 2008

SENI, LINGKUNGAN DAN SKIZOFRENIA

Oleh : Bambang Sugiharto

Hal yang demikian dekat dengan kita seringkali justru jauh dari kesadaran. Layaknya ikan sulit menyadari dan memahami air, manusia modern pun harus melalui perjalanan panjang berputar untuk menyadari pentingnya lingkungan. Manusia modern dan lingkungan alam memang senantiasa berada dalam tegangan: antara melepaskan diri darinya atau justru meleburkan diri ke dalamnya, antara titik berat pada kultur atau menjadi bagian dinamis dalam natur. Dunia seni adalah manifestasi menarik dari tegangan macam itu.
Di satu pihak manusia modern menyadari misteri, keunikan dan pesona alam semesta umumnya melalui representasi artistiknya berupa lukisan, foto, musik, video atau pun film; di pihak lain kerangka artistik modern sendiri justru bertendensi kuat kian menghilangkan lingkungan alam sebagai bahan refleksinya (sebagai subject matter-nya). Ketika terlepas dari agama dan menjadi suatu wilayah otonom tersendiri dalam kiprah peradaban manusia, seni modern berangsur-angsur kian terlepas dari eksterioritas dan menyuruk kian mendalam ke wilayah interioritas, terperangkap dalam inflasi individu, dan memasuki wilayah skizofrenia yang ambigu dan kadang berbahaya.

Modernitas, estetika dan alam
Sekurang-kurangnya sejak abad 17 hingga 18, dualisme Cartesian demikian kuat menguasai sikap manusia terhadap lingkungan alam. Alam adalah realitas wadag material, res extensa; sedangkan manusia, terutama akalnya, adalah realitas batin, pikiran-non-material, res-cogitans . Dualisme yang telah mengompori kinerja ilmiah awal ini lantas berselingkuh dengan kepentingan teknologi dan kapitalisme, sehingga kian terlembagalah pola sikap Subyek-Obyek : manusia adalah subyek, alam adalah obyek belaka, medan untuk ditaklukan, dieksplorasi dan dieksploitasi. Maka alam kehilangan pesona magisnya, kehidupan kehilangan misterinya. Pusat gravitasi adalah manusia, dengan segala kepentingannya.
Di sisi lain, sikap epistemologis-teknis macam itu diimbangi oleh sikap estetis, yang justru menghargai lingkungan alam. Memang tampak paradoks. Perspektif klasik estetika abad 18, yang menggumpal pada Immanuel Kant, meyakini bahwa yang pokok dalam apresiasi estetis adalah sikap “tanpa kepentingan” ( disinterestedness), yaitu sikap yang melepaskan diri dari kepentingan sehari-hari yang teknis dan praktis atau pun kepentingan pribadi. Lingkungan , baik urban, rural, atau pun belantara hutan, dilihat sebagai sesuatu yang sublim dan indah. Namun disini lingkungan alam sebenarnya tetaplah juga diapresiasi secara formalistik sebagai medan obyek, dan terutama sebagai lanskap, yang berkarakter picturesque. Pada abad ini memang ada juga orang seperti J.J.Rousseau, yang melihat lebih jauh, yakni melihat alam sebagai setting kodrat manusia yang lebih otentik ketimbang setting kultural iptek modern, yang dianggapnya meracuni potensi-potensi natural manusia. Namun pandangan macam ini baru menemukan gaungnya yang tepat kelak di abad 19 pada masa Romantik.
Romantisisme abad 19 memang jatuh cinta pada alam . Henry David Thoreau atau juga John Muir misalnya, dengan cara yang berbeda, menekankan pentingnya interaksi dengan alam liar. Alam liar bagi mereka lebih tinggi daripada peradaban dan kultur manusia. Interaksi non-eksploitatif dengan alam itu akan membawa transformasi penting bagi dunia manusia. Darwin bahkan mendudukkan manusia sekedar sebagai salah satu unsur saja dalam alam. Sementara alam sudah dilihatnya sebagai berbagai unsur yang saling tergantung satu sama lain. Di sisi lain, para pengritik budaya modern teknologis macam Herder, Goethe, Humboldt atau pun Schiller, kendati cenderung menganggap modernitas sebagai dangkal dan non-reflektif, toh tetap juga memberi prioritas lebih pada kultur ketimbang natur, pada seni ketimbang teknologi. Seperti halnya Hegel, yang dalam sistem filsafatnya juga tetap memprioritaskan realitas artifaktual sebagai antitesis atas realitas natural. Tapi pada Nietzsche agak lain. Dalam kerangka berpikirnya kultur, seni dan natur bukanlah hal-hal bertentangan. Ketika dikritiknya bahwa peradaban modern (Zivilisation) adalah proses de-naturalisasi insting dan de-intellektualisasi kultur, maka bagi Nietzsche kultur yang sebenarnya haruslah merupakan manifestasi dari insting natural daya-daya hidup, dan itu pula kekuatan yang mesti diungkapkan seni. Kendati semua itu, secara umum pola apresiasi terhadap alam dalam karya seni tetaplah : subyek terhadap obyek artifaktual seni. Artinya alam tampil dalam representasi artistiknya.
Di penghujung abad 19 tendensi ambivalen macam di atas itu mulai menghilang dalam style baru yang muncul saat itu : “impressionisme”. Sebabnya karena alam sendiri sebagai obyek mulai menyublim disana. Munculnya kamera foto saat itu mengakibatkan pola “mimetis” dan konsep “representasi” dalam kiprah seni menjadi problematis. Maka para seniman lantas asyik mempersoalkan misteri “persepsi” itu sendiri. Timbullah gagasan bahwa melukis, misalnya, bukan berarti menangkap realitas wujud dalam arti harfiah fisikalnya, melainkan menangkap kesan sesaat: menangkap cuaca, cahaya, kabut, udara, kontur imaji total dalam momen-momen yang berlari, kesemantaraan yang tidak abadi. Ada pergeseran titik berat disana, dari visualitas ke impressi jiwa; dari benda ke suasana.
Pergeseran dari eksterioritas ke interioritas ini makin radikal dalam “ekspressionisme” yang masuk lebih ke dalam , memberi tekanan berat pada reaksi mental, emosi, gelegak energi si seniman pribadi. Maka, atas nama ekspressi, obyek pun didistorsi sesuka senimannya. Kalau pun alam menjadi obyeknya, bukan alam itu sendiri yang penting, melainkan disposisi mental sang seniman (van Gogh, dsb), atau upaya untuk mengundang reaksi emosi dan rasa dari sang pemirsa(Matisse, Derain,dsb). Dan tendensi ini kian mengkristal dalam “abstraksionisme”. Disana aspek representasi obyek di luar hilang sama sekali. Yang terjadi lantas hanyalah eksplorasi ruang batin pada tingkatnya yang paling sublim, gelap dan misterius, yang tak terpikirkan sekaligus tak terelakkan (Kandinsky, Rothko, Pollock,dsb) . Ironisnya, di sisi lain abstraksionisme adalah juga renungan atas elemen-elemen dasar bentuk, rupa dan materialitas itu sendiri juga (Malevich, Mondrian, Kurt Schwitters,dll). Maka yang terjadi disini sebenarnya adalah proses interiorisasi subyek sekaligus penyelaman ke balik obyek. Kalau pun masih ada jejak-jejak obyek luaran disana, itu muncul dalam bentuk reduksinya ke dalam elemen-elemen dasarnya belaka.
Di abad 20, sejak pasca Perang Dunia I dan II, Dadaisme, dan revolusi kaum muda tahun 60-an, terjadi perubahan mendasar ihwal hubungan antara seni dan lingkungan di luarnya. Dari sudut bentuk terjadi eksplorasi segala kemungkinan baru, yang bahkan menerabas segala batasan kategorial modern. Ini khususnya terasa intens dalam tendensi Avantgardisme. Lukisan dua-dimensi dibongkar , berubah menjadi “kolase”; kolase menjadi “assemblase” 3 dimensi; assemblase tumpah keluar bidang kanvas dan tergerai di lantai menjadi “installasi”; installasi menjelma menjadi gerak dalam “performance-art” atau happening. Di awal abad 21 performance-art akhirnya ke luar dari ruang eksklusifnya menjadi aksi sosial dalam segala banalitas konteksnya. Yang terjadi di sini adalah lenyapnya batas angker antara dunia seni yang eksklusif dan situasi sehari-hari. Pola apresiasi seni pun berubah total bukan lagi sekedar Subyek terhadap Obyek, melainkan Subyek terhadap Setting . Seni menjadi peristiwa kolektif dalam setting multisensoris totalnya.

Permasalahannya
Ketika seni menyatu kembali dengan denyut kehidupan sehari-hari, tentu peluang bagi seni untuk mencebur kembali dengan alam pun besar. Masalahnya adalah bahwa, sejak impressionisme hingga berbagai bentuk avantgardisnya, seni modern terlanjur demikian kuat terperangkap dalam kerangka interioritas dunia manusia. Seni mengalami “inflasi individu” sedemikian hingga terasa narsistik. Ia menjadi semacam petualangan kedalam lapisan-lapisan psike paling tersembunyi dalam diri, wilayah gelap yang paling tabu, tak terduga dan liar ( Rudolf Schwarzkogler yang menyayati kemaluannya hingga mati, misalnya, atau Vito Acconci yang merekam dirinya bermasturbasi) . Ia bermain dengan ambang batas daya toleransi kejiwaan dan kebertubuhan (Stelarc yang menggantung tubuhnya dengan kail-kail besar, misalnya),serta mengeksplorasi wilayah insting-insting paling purba, ganas dan keras. Konsekuensi dari ini semua adalah makin lenyapnya alam dalam karya seni, dan sekaligus makin besar tendensi skizofrenia alias kegila-gilaan disana. Karya seni bukan hanya mengeksplorasi wilayah kegilaan, melainkan sendirinya juga berkarakter skizofrenik. Tengoklah karya-karya macam body-art dari Chris Burden (yang menembak dirinya sendiri), atau performance-art dari Carolee Schneeman (yang memasuk-keluarkan benda tertentu ke dalam vaginanya), teater Artaudian yang mengeksplorasi impuls-impuls tubuh dan emosi paling liar, atau film-film Peter Greenaway dan Jarman yang persis memainkan ambiguitas pengalaman-pengalaman liminal tubuh, emosi dan imajinasi. Tak mengherankan bahwa akhirnya dunia seni macam ini melahirkan pula seni-mayat seperti yang dipamerkan seniman ahli bedah Günther von Hagens, yang karya seninya berupa 200-an mayat yang telah diplastinasi menjadi berbagai patung tubuh. Semua gejala ini akhirnya juga memaksa para apresiator awam memasuki ambang-batas daya tahan psikenya sendiri juga.
Yang terjadi di sini lantas bukan hanya seni kehilangan dimensi transendensi, melainkan bahwa ia tenggelam dalam medan imanensi: imanensi dunia manusia, tapi juga imanensi dunia seni yang eksklusif itu sendiri. Seni terus-menerus memperkarakan dirinya sendiri saja, lantas menjadi begitu akrab bukan saja dengan naluri kegilaan, melainkan juga dengan naluri-naluri kematian. Bukan hanya para senimannya menyiksa diri sampai mati atau mengeksplorasi kematian, setiap aliran pun saling mencurigai bahkan saling bantai. Yang muncul, khususnya dalam Avantgardisme, akhirnya hanyalah sensasi demi sensasi, tanpa isi. Tidaklah mengherankan bahwa seni modern sendiri pun akhirnya “mati” (kata Arthur Danto).
Dalam seni modern memang kategori “keindahan” tak lagi dipedulikan, diganti “kebermaknaan”, “kebenaran” (kebenaran eksistensial) atau pun sensasi permukaan ( the erotics , kata Susan Sontag). Dan memang sulit sekali mengapresiasi keindahan dalam karya-karya modern yang kadang demikian brutal itu. Tentu saja fokus kuat pada kebenaran eksistensial ini bukan tanpa nilai. Ia telah membawa seni memasuki medan reflektivitas manusia ke tema-tema dan kedalaman paling tersembunyi dan paling tak terduga, yang dalam karya-karya besar klasik tak pernah dieksplorasi dan diolah secara demikian eksplisit. Dan fokus terhadap kebenaran eksistensial itu pula yang akhirnya telah membawa seni melebur kembali dalam banalitas hidup sehari-hari, yang pantas disyukuri. Sayangnya, ketika ia telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari ia cenderung menjadi gerakan-gerakan sosial biasa. Pada titik ini ia pun terancam kehilangan kekuatan craftsmanshipnya, dan dengan itu kehilangan pula daya magis-metaforiknya, lantas jatuh menjadi sekedar aktivisme yang kelewat harfiah belaka. Singkatnya, permasalahan seni modern terletak pada narsisismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekedar rangkaian sensasi, hilangnya sisi “keindahan” dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.
Aspek keindahan dan kekuatan metaforik mestinya tetaplah penting dalam seni. Hanya saja keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekedar keindahan kompositoris atau picturesque bentuk visual, tapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan effektif dalam membuka kesadaran. Keindahan penting karena ia adalah cara paling efektif dimensi transendensi menyentuh indera batin kita; sekaligus cara manusia keluar dari keterpenjaraan intern-nya dan menyatu dengan Ruh Semesta, dengan Anima Mundi, dengan dunia batin alam yang lebih luas. Sedang metafor penting karena ia merangsang proses transformasi kesadaran ke tingkat lebih tinggi, proses de-literalisasi kenyataan sehari-hari, yang memungkinkan kita melihat hal yang lebih jauh dan lebih besar di balik hal-hal fisik yang tampak sepele. Bila keindahan dan kekuatan metaforik tetap diperhitungkan dalam praktik berkesenian, maka lebih mudah agaknya seni menggamit kembali realitas di luarnya: lingkungan semesta, bahkan keilahian kosmik transendental.

Kiblat baru berkesenian
Ketika periode avantgard modern berlalu, dalam kiprah seni kontemporer pasca modernisme hari ini sebenarnya kepedulian terhadap alam memang makin besar. Alam digunakan sebagai bagian integral dari patung, tarian, teater atau pun installasi, dan menjadi inspirasi utama pula dalam berbagai bentuk kerja desain. Sepertinya seniman mutakhir saat ini tak lagi sedemikian terkungkung oleh individualitasnya. Sosok karya seni pun bukan lagi semata berupa entitas artifaktual mandiri, melainkan sering pula berupa proses dan interaksi. Nilai karya seni Christo yang umumnya berupa instalasi-instalasi raksasa dalam setting alam, misalnya (Layar raksasa yang membentangi perbukitan atau mem-frame pulau-pulau), terletak bukan saja pada nilai kekaryaan monumental dari seorang seniman bernama Christo, melainkan juga pada daya gugah puitiknya bagi kesadaran pemirsa terhadap alam, sekaligus pada seluruh proses kerja Christo yang melibatkan demikian banyak pihak dan tahapan proses birokrasi. Totalitas proses dan interaksi macam itu pula yang menandai kebermaknaan proyek-proyek teater-lingkungan dari seniman macam Richard Schechner , proyek tarian Sardono W. Kusumo, aksi tanam pohon Tisna Sanjaya, kiprah Arahmaiani di desa-desa di jawa tengah, atau bahkan dalam pembuatan film-film Garin Nugroho, misalnya. Dan berkat makin gencarnya gerakan environmentalisme, kiprah kesenian pun makin banyak menggarap tema dan perspektif lingkungan.
Namun dalam kaitan dengan lingkungan, barangkali yang lebih radikal menentukan keterkaitan antara seni dan lingkungan sebenarnya adalah imajinasi metafisik di balik konsep “seni” dan “berkesenian” itu sendiri. Selagi seni tetap dimengerti sebagai reflektivitas dan virtuositas individual seperti dibayangkan dalam kerangka estetika Aufklärung Kantian, maka seni akan tetap urusan para genius yang langka, suatu kemewahan elitis, yang hanya pantas dipandangi di etalase galeri, museum atau pun panggung-panggung kesenian bergengsi, tanpa sungguh-sungguh bisa diapresiasi dan dipahami kebanyakan orang, tanpa relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
Pada titik ini pandangan metafisik tradisional pra-modern tentang kesenian justru menjadi sangat menarik dan relevan. Seperti masih banyak kita saksikan di daerah-daerah, macam di Bali, Toraja atau pun Asmat, seni bukanlah semata-mata perkara teknis, skill dan virtuositas, karenanya bukanlah hanya urusan para genius. Seni bukan pula soal perspektif disinterested berjarak, melainkan justru sebaliknya, soal keterlibatan total dalam lingkungan, yang dasarnya adalah imajinasi metafisik yang berkarakter monistik : bahwa manusia adalah bagian dari totalitas kenyataan kehidupan yang satu jua; bahwa segenap realitas adalah totalitas yang berjiwa. Disini seni lantas adalah perayaan hubungan ruhani kosmik itu, adalah aktivitas-aktivitas olah-bentuk dalam rangka memberi dimensi batin pada benda-benda dan peristiwa. Dalam kerangka macam ini seni lantas adalah urusan semua orang. Seni bukan pertama-tama soal kepiawaian, melainkan soal ritual dan perayaan. Kecanggihan teknis bernilai dalam rangka intensifikasi perayaan itu. Dalam perspektif ini bukan para seniman yang merupakan manusia istimewa, melainkan setiap manusia adalah seniman istimewa. Yang dianggap karya seni pun bukan lagi sekedar obyek artifaktual tertentu, melainkan keseluruhan proses dan interaksi yang terjadi, keseluruhan unsur dan peristiwa. Seni bukan pula ekspressi pribadi yang idiocyncratic, melainkan proses artikulasi diri-komunal, yang setiap kali mendefinisikan ulang hakekat kesatuan dasariah antara manusia dan alam, realitas mikro dan realitas makro; proses me-recharge ruh individu maupun kolektif dengan menyatukannya setiap kali dengan Anima Mundi. Kesenian adalah aneka ritual yang setiap kali mengingatkan kembali misteri, kerumitan, keagungan dan keindahan daya-daya kosmik transendental. Maka disini kepekaan estetik adalah sekaligus kepekaan terhadap yang sakral.
Maka agaknya seni akan bisa lebih total menggamit kembali lingkungan alam kini hanya bila seni kontemporer dapat bersekutu kembali dengan khasanah dan worldview metafisik tradisional macam itu. Berbagai gejala ke arah sana telah muncul dimana-mana, entah dalam rupa ritualisme baru, performance art sebagai gerakan sosial atau pun berbagai eksperimen yang mensenyawakan ruh tradisional dengan seni kontemporer. Dan disana yang menjadi kunci akhirnya adalah bahwa krisis ekologis fisik sebenarnya berakar pada masalah krisis spiritual. Bukanlah kebetulan, bahwa ketika seni modern terlepas dari medan spiritual ia menjadi teramat akrab dengan naluri-naluri kematian, penghancuran dan kegilaan. Namun di sisi lain ini tak mesti berarti bahwa lantas seni mesti dikait-kaitkan dengan agama. Medan spiritual jauh lebih luas dan lebih misterius ketimbang yang sempat diartikulasikan oleh agama. Bahkan pada titik tertentu agama sebagai pelembagaan spiritualitas bisa justru mematikan dinamika spiritual yang otentik dan membunuh seni juga , atas nama legalisme formal, ritualisme, dogmatisme, dsb. Yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana seni mampu di satu pihak mengartikulasikan gejolak batin kolektif yang otentik, di pihak lain sekaligus menghadirkan dimensi transendensi ke dalam realitas sehari-hari. Demikian transendensi, keindahan dan kekuatan metaforis agaknya bukanlah hal yang kedaluarsa. Sebaliknya, itu tetaplah unsur-unsur esensial yang menjaga kebermaknaan dan kesehatan kesenian dan dunia manusia.

Bambang Sugiharto, pengajar Filsafat di Unpar dan ITB, Bandung.

Tidak ada komentar: