Kamis, 12 Juni 2008

MASIH PERLUKAH SAINS, FILSAFAT DAN AGAMA ?

Oleh : Bambang Sugiharto



“Masih perlukan Sains,Filsafat dan Agama ?”. Judul ini bukanlah sekedar pertanyaan retoris dengan jawaban yang sudah jelas. Judul itu lebih hendak menunjukkan suasana ketidakpastian mendasar yang dihadapi peradaban manusia di awal millennium ketiga ini, akibat gelombang kritik dasyat atasnya yang akhir-akhir ini muncul secara tak terelakkan dari perkembangan kesadaran bangsa manusia sendiri.
Sains, filsafat dan agama –pillar-pillar utama peradaban- akhir-akhir ini telah mendapatkan berbagai kritik mendasar yang memaksa kita untuk meninjau kembali hakekat masing-masing bidang itu beserta posisinya dalam peradaban manusia hari ini dan nanti. Orasi ini hanya akan melukiskan pemetaan global saja, yang dimaksudkan sebagai perangsang untuk me-refleksi ulang kiprah perguruan tinggi sebagai institusi yang mengelola pillar-pillar peradaban tersebut, maupun kinerja masing-masing kita didalamnya sebagai pribadi.

Sains[1]
Suatu saat ketika Museum of American History diminta mengadakan pameran tentang perkembangan sains di Amerika, para penyandang dananya sebetulnya berharap melihat kecanggihan pencapaian-pencapaian mutakhir di bidang sains. Namun ternyata yang mereka dapatkan pada katalog adalah persis kebalikannya : deretan bencana akibat kiprah dunia ilmu dan teknologi, yaitu perusakan lingkungan yang parah, senjata pemusnah masal, peracunan makanan oleh berbagai zat kimia, robotisasi industri yang mengancam para buruh pabrik, ketidakadilan sosial, berbagai eksperimen tak bermoral, dsb.dsb. [2] Bagi manusia jaman ini sains rupanya bukan lagi sesuatu yang sangat mengagumkan. Kalau pun masih tersisa kekaguman, maka itu kini bercampur dengan kecemasan dan kecurigaan. Yang mencemaskan dan mencurigakan bukanlah akibat-akibat negatifnya saja, melainkan sesuatu yang lebih mendasar, yakni sisi-sisi ideologis, kerangka dasar ontologis, beserta doktrin-doktrin metodologisnya.
Kaum feminis , misalnya, suka sekali membayangkan kiprah ilmu dan teknologi sebagai salah satu benteng kokoh dominasi perspektif patriarki. Disana realitas, khususnya alam, bagaikan kaum perempuan yang tak berdaya dieksploitasi, diinterogasi dan dipaksa untuk membukakan rahasia-rahasianya. [3] Paul Feyerabend –fisikawan yang berkiprah dalam filsafat ilmu- telah menohok sisi ideologis sains yang baginya telah menjadi opressif terhadap jenis-jenis pengetahuan lain, sama dengan kelakuan agama di masa pra-modern. Jenis-jenis pengetahuan tradisional, klenik, dsb. cenderung didiskreditkan dihadapan sains, sementara bagi Feyerabend, sains sendiri sebenarnya tak memiliki otoritas lebih dibanding ilmu pengetahuan lain.[4]
Secara ontologis, gambaran dunia (worldview) Newtonian yang material-atomistik ala sains pun makin hari makin diragukan. Meskipun hingga kini masih problematis dan masih diperdebatkan, toh melalui Fisika Kuantum ada tendensi makin kuat kini untuk melihat materi / masa sebagai interkonvertibel dengan energi, atau partikel interkonvertibel dengan gelombang. Artinya ada tendensi kuat untuk melihat unit terdasar realitas sebagai non-material. Dan lebih jauh lagi, juga bertentangan dengan paham Newtonian, segala hal kini cenderung dilihat sebagai saling terkait dalam suatu jaringan interdependensi keseluruhan.[5] Bahkan pandangan dasar sains yang cenderung “substansialistik” pun kini berubah ke arah pengutamaan “flux” (aliran) atau pun “web” (jaringan), yang niscaya mengubah pola berpikir tradisional sains ke arah yang secara radikal berbeda. Dan pada tingkat sosio-kultural, revolusi elektronik membuat kita makin hari makin hidup dan berinteraksi pada tingkat “virtual” dalam ruang-ruang maya. Aliran gelombang elektron makin memungkinkan kita berinteraksi tanpa terlalu tergantung lagi pada kondisi fisik material. Kontradiksi klasik antara tubuh dan jiwa kini pun menjadi terasa kuno.
Secara epistemologis dan metodologis, filsafat ilmu telah menyingkapkan betapa konsep-konsep pokok dalam dunia sains macam “penalaran logis”(rasionalitas), “kebenaran”,”obyektivitas”, “ observasi” dsb. sebetulnya sangat bermasalah. Logis atau tidak logis , rasional atau irrasional, kini dilihat erat terkait pada gambaran dunia (worldview) yang partikular dan struktur bahasa yang digunakan. Berbagai kultur memiliki gambaran dunia yang khas dan struktur bahasa yang khusus. Dan ini melahirkan cara berpikir dan logika yang khas pula. Gambaran dunia ala Hindu melahirkan logika tentang Chakra, atau gambaran dunia ala Taoisme misalnya melahirkan logika unik tentang jalur-jalur meridian dalam praktik akupunktur. Dan logika-logika tersebut memang merupakan cara berpikir yang sungguh berbeda dengan cara pikir sains yang gambaran dunianya pun lain. Logika tidaklah mesti satu seperti diyakini dahulu. Konsep tentang “kebenaran” pun telah berubah, kini orang menemukan berbagai kemungkinan arti konsep tersebut. Kebenaran bisa dilihat secara berbeda dari sudut korespondensi, koherensi, pragmatis, performatif, eksistensial, disclosive atau pun relasional. Yang jelas, kini secara umum ada keyakinan bahwa dalam dunia manusia tak ada realitas yang murni tanpa tafsir. Segala pernyataan tentang realitas yang kita buat adalah selalu tafsiran versi manusia. Yang dahulu diklaim sebagai “hukum alam” oleh sains, kini hanya dilihat sebagai produk sementara hasil tafsir manusia yang memiliki tingkat kemungkinan tinggi. Alam sendiri persisnya bagaimana hukumnya tak sepenuhnya bisa kita ketahui, atau bisa dirumuskan dengan berbagai kemungkinan. Yang dapat kita tangkap hanyalah aspek-aspek tertentu saja dari perilaku alam itu. Tentang “obyektivitas” pun kini tak mungkin lagi kita membayangkannya sebagai sesuatu yang “murni” sesuai dengan kenyataan alamiahnya. Tiap klaim tentang obyektivitas adalah hasil observasi. Dan observasi tak pernah netral, selalu dipengaruhi imajinasi maupun horizon intelektual si pengamat, ditentukan oleh faktor retoris dan sosiologis dalam komunitas ilmuwan sendiri, maupun oleh faktor historis yang membuat ilmuwan sudah selalu berpikir ke arah tertentu tanpa disadari, dsb.dsb. Obyektivitas kini hanya bisa dimengerti sebagai “Konsensus intersubyektif”. Pendeknya, ada begitu banyak persoalan intern yang dihadapi oleh sains, yang akhirnya menunjukkan bahwa hasil dari sains sebetulnya tendensius, diliputi banyak unsur “kepercayaan” dan kebiasaan, tak sepenuhnya obyektif-murni dan netral-universal, dan dalam kiprahnya bermuatan kepentingan ideologis tertentu.[6]
Akibat dari semua kritik itu maka kini kita menyaksikan suatu jaman baru dimana segala jenis pengetahuan tradisional , astrologi, prana, klenik, dan berbagai bentuk pengetahuan supranatural (yang secara ganjil biasa disebut pengetahuan “Metafisik”)yang dahulu diharamkan kini dengan leluasa hidup berdampingan dengan sains. Dalam berbagai kasus sains justru belajar dari berbagai jenis pengetahuan aneh itu. Sedangkan para saintist yang masih setia pada kerangka positivisme klasik dengan segala kaidah obyektivistik-empiris-kuantitatifnya kini kerap dituding sebagai kaum reduksionis sempit atau para pengidap realisme-naïf yang kedaluwarsa. Tentu tudingan itu masih perlu diperdebatkan, sebab perkaranya sesungguhnya cukup kompleks.


Filsafat
Sepanjang sejarahnya filsafat telah berusaha untuk mengatasi tegangan antara kecenderungan akal untuk membentuk kerangka teoritis formal tentang realitas kehidupan ini di satu pihak, dan di pihak lain kenyataan bahwa realitas kehidupan dialami sebagai sesuatu yang senantiasa mengalir, berubah, tanpa bentuk yang pasti dan menyangkut demikian banyak aspek sekaligus.
Plato meyakini bahwa refleksi akal budi manusia mampu menyaring peristiwa-peristiwa real yang partikular dan unik dalam rangka mendapatkan idea yang inti, abadi dan universal. Dan fokus refleksi mesti diarahkan pada persoalan “kebenaran” yang bersifat abstrak. Aristoteles agak lain prosedurnya. Yang inti dan universal itu tidak didapatkan terutama melalui refleksi. Hakekat dari realitas itu terdapat dalam kenyataan duniawi ini, dalam gerakan dan perubahannya. Maka yang diperlukan bukanlah merenungi kebenaran pada tingkat abstrak, melainkan memahami hakekat gerakan dan perubahan itu sendiri saja. Tidak ada dunia abstrak ide-ide inti tersendiri. Abstraksi hanyalah prosedur cara kita memahami realitas konkrit. Para filsuf abad pertengahan berada diantara kedua tradisi itu namun dengan keyakinan baru bahwa wahyu Tuhan menjamin ditemukannya inti semesta kehidupan. Realitas pengalaman sendiri tak memungkinkan manusia sampai pada yang inti. Wahyu Tuhan akan membantu memahami realitas melalui rahmatNya dan penyelenggaraan-illahiNya sendiri. Pada tingkat formulasi manusiawi sendiri kita hanya akan sampai pada rumusan-rumusan negatif (teologia negativa), sebab bahasa-bahasa kita selalu terbatas. Disini tentu saja filsafat lantas bercampur baur dengan teologi.
Pada abad tujuhbelas tugas filsafat dipahami secara lain lagi. Untuk Descartes, misalnya, tugas filsafat adalah membangun sebuah sistem pengetahuan yang akan mendasari segala bentuk pengetahuan lain (sains) dengan tingkat kepastian tinggi bagai kepastian matematis. Kepastian dasar ditemukan pada penalaran itu sendiri :saya bernalar maka saya ada (cogito ergo sum). Berdasarkan proposisi-proposisi macam itu dilakukanlah penalaran dan penarikan kesimpulan lanjutan secara logis ketat. Sistem filsafat yang kokoh dan rasional akan muncul dari sana.
Empirisme Inggris sempat mengoreksi kecenderungan filsafat Cartesian yang menekankan sentralitas penalaran subyek itu dan mengubah fokus filsafat ke arah pengalaman inderawi konkrit. Hasil material dari gelombang empirisme ini memang sangat meyakinkan . Sains berkembang pesat dengan cara pengukuran, kuantifikasi dan penghitungan data dari pengalaman inderawi itu. Namun tendensi oversimplifikasi dan reduksionistik dalam empirisme ini toh tetap menggelisahkan dan merupakan persoalan yang tetap meradang di balik permukaan. Persoalan ini kelak akan muncul kembali di akhir abad 20.
Namun sementara itu pada abad delapan belas bagaimana pun juga sains beserta teknologi yang dihasilkannya memang menyilaukan pandangan. Perkembangan pengetahuan saat itu sangatlah mengundang antusiasme, sedemikian hingga hakekat “pengetahuan” dan “penalaran” menjadi tema utama permenungan. Para filsuf abad pencerahan lalu percaya bahwa aneka ragam pengetahuan sesungguhnya hanyalah manifestasi saja dari akal yang universal dan homogen. Penalaran akal adalah sesuatu yang sama bagi setiap orang, setiap bangsa atau tiap jaman. Berbagai paham yang akar kulturalnya berbeda sekalipun bila direnungi akan sampai pada prinsip-prinsip rasional yang sama, permanen dan universal. Maka berdasarkan “logika fakta” yang positivistic-empiristik, dikombinasikan dengan ambisi Cartesian yang rasionalistik, filsafat abad pencerahan terobsesi hendak mencari pondasi paling kokoh dan tak tergoyahkan bagi pengetahuan. Tegangan yang mesti dihadapinya lalu adalah : disatu pihak secara “internal” subyek harus mengandalkan kemampuan logika nalarnya, di pihak lain ia perlu mencerminkan kenyataan “eksternal” juga seakurat dan sepasti mungkin lewat daya tangkap inderawinya. Tegangan antara ambisi foundationalism dan tendensi representationalism ini berlanjut terus sejak Descartes, Locke, Kant hingga Hegel, dan bermuara pada Husserl. Persoalannya adalah bahwa, proyek ontologis macam itu de facto telah mendorong filsafat menjadi ego-logis, antroposentris dan monolitik; tapi juga mengakibatkan sains menjadi instrumentalistik. Akibat dari ini semua adalah menguatnya sisi ideologis filsafat dan pengetahuan Barat , yang dampaknya adalah: segala jenis pengetahuan lain dianggap non-ilmiah dan tidak valid ( dalam politik ini menampakan diri dalam berbagai tendensi fasisme yang totaliterian dan destruktif); eksploitasi alam besar-besaran hingga melahirkan persoalan ekologis yang parah; meriapnya pola berpikir pragmatis instrumental yang menganggap sepele penalaran reflektif yang menyangkut nilai dan makna, dan dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas,dsb.dsb.[7]
Ambisi pencerahan itu bermuara pada Husserl, dalam arti bahwa di satu pihak ambisi Husserl sendiri adalah hendak membetot filsafat menjadi dasar ilmu pengetahuan yang paling logis ketat (rigorous science; strenge wissenschaft) sebagaimana dirindukan oleh tradisi metafisik Platonik-Cartesian, di pihak lain gagasan-gagasan yang dikembangkannya justru memberi peluang besar untuk menghancurkan ambisi metafisika itu sendiri, bahkan mengakhirinya. Memang ironis.
Salah satu gagasan pokok Husserl yang bagai pedang bermata dua itu adalah gagasannya tentang Lebenswelt atau Life-world, yaitu anggapan bahwa dunia yang paling dasar, paling primer dan paling real sebetulnya adalah dunia pengalaman yang dihayati sehari-hari, dunia pra-reflektif, dan pra-ilmiah, yang mengalir begitu saja, dengan bentuk yang tak jelas (amorf) dan sudah selalu multidimensi. Dunia sains atau realitas ilmiah “obyektif” hanyalah konstruksi, idealisasi, abstraksi atau interpretasi atas dunia pra-reflektif primordial itu. Realitas pra-reflektif itu sendiri adalah sesuatu yang mengatasi kategori subyek-obyek.[8] Itu adalah dunia pengalaman asli dimana subyek dan obyek, beserta segala kualitas bercampurbaur. Sedang “pengalaman empiris” versi dunia sains sebetulnya bukan sungguh-sungguh pengalaman, sebab disana banyak kualitas penting dihilangkan berhubung tak bisa diukur atau diulang , misalnya : sentuhan, bau, perasaan, rasa moral, nilai, jiwa, kesadaran, bahkan ruh.
Fenomenologi Husserl ini , kita tahu, kemudian dikembangkan oleh Heidegger dan para filsuf yang mengikutinya (Gadamer, Ricoeur,dsb) menjadi tradisi Hermeneutik, yang kini membawa filsafat pada salah satu puncak otokritiknya yang menghancurkan diri sendiri dalam berbagai gelagat yang biasa disebut dengan istilah longgar “Postmodernisme” (yang kontroversial itu).
Namun refleksi lanjut yang sama pentingnya sebetulnya adalah dari filsuf Merleau-Ponty. Berangkat dari gagasan Husserl tentang life-world tadi, Ponty memperlihatkan bahwa persepsi adalah kontak primordial kita dengan dunia, satu-satunya modus untuk membentuk makna realitas (Being). Pada dasarnya persepsi itu pra-sadar, pra-personal, dan mewujud lewat kebertubuhan kita. Kebertubuhan itu sendiri sebagian besarnya pra-sadar. Nah oleh sebab disana kita berhadapan dengan realitas pra-sadar, maka filsafat (fenomenologi) adalah soal bagaimana mendeskripsikan realitas itu ke tingkat kesadaran, bukan pertama-tama soal analisis atau pun tafsir. Persepsi adalah background yang melatari segala tindakan. Dan dunia bukanlah obyek, yang hukum-hukumnya tinggal kita tangkap saja. Dunia adalah medan alamiah kesadaran. Kesadaran yang akhirnya menyadari ketergantungannya pada ketidaksadaran, pada kehidupan pra-reflektif.[9] Konsekuensi penting dari hal ini adalah bahwa gagasan kita tentang “inti terdalam” atau “essensi” realitas bukanlah tujuan filsafat, melainkan sarana saja untuk mengenali dan memberi makna keterkaitan pra-sadar kita dengan dunia. Kita terlampau menyatu dengan dunia itu untuk bisa menyadari hidup kita sendiri, maka kita membutuhkan gagasan-gagasan itu untuk menaklukan dan menyingkapkannya. Kesatuan dasar dengan dunia itu lebih langsung tampil dalam rupa perasaan, hasrat, perilaku, dan penilaian spontan, ketimbang dalam pengetahuan obyektif ilmiah. Perasaan, hasrat, dsb itu adalah semacam “bahasa sebelum bahasa”. Segala pernyataan tekstual dan ilmiah yang kita buat hanyalah berbagai upaya tak berkesudahan untuk mengartikulasikan dan menterjemahkan pengalaman kesatuan mendasar itu.[10]
Filsafat selalu mencoba menyelesaikan persoalan dengan mencari evidensi apodiktik atau mengacu pada kebenaran abadi. Tapi bagi Ponty kita sudah selalu berada dalam wilayah kebenaran, sudah selalu mengalami kebenaran, yaitu pengalaman menyatu dengan dunia tadi.
Maka dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat gravitasi filsafat dari kesadaran Subyek ke pengalaman kesatuan dengan dunia. Semua pengetahuan kita berakar pada postulat-postulat makna yang telah muncul sepanjang sejarah. Filsafat perlu memanfaatkan segala khasanah makna itu sambil tetap selalu memperkarakannya dalam kaitan dengan pengalaman konkrit Dalam rangka itu misalnya, ketika kini muncul kesadaran baru bahwa realitas adalah jaringan hubungan-hubungan, maka dalam berfilsafat pun diperlukan metafor-metafor baru dan cara pandang baru.[11] Lama sekali filsafat Barat memahami realitas dengan metafor arsitektural. Para filsuf bicara tentang bagaimana membuat “bangunan“ sistem, mencari “pondasi” yang kokoh untuk itu, dsb.dsb. Barangkali metafor yang kini relevan adalah misalnya “jaringan hubungan”, bukan “bangunan” dan “pondasi”. Deskripsi kita tentang keberadaan kita di dunia ini bisa berragam-ragam, dan itu mesti dilihat sebagai jaringan konsep dan model saja, yang tak mesti membutuhkan suatu “pondasi” tunggal. Segala jenis pengetahuan (ilmiah, klenik, tradisional, magis, mistik,dsb) itu di satu pihak masing-masing otonom, di pihak lain bersilangan bahkan bertumpang tindih dan saling terkait juga. Ilmu yang berkaitan dengan Chakra atau Prana, misalnya bisa bersinggungan dengan wacana tentang “energi” di bidang Fisika, atau dengan perkara “ruh” dalam wilayah pengetahuan mistik religius, dst.dst. Disana masing-masing ilmu bisa saling merumuskan diri lebih tajam melalui perbandingan dengan satu sama lain, sekaligus juga saling mengambil inspirasi dari masing-masing. Dengan demikian setiap bidang keilmuan bisa dilihat sebagai saling “bersarang” dan mendapat daya hidup dari satu sama lain.
Filsafat disana lantas hanyalah membantu membawa pada kesadaran apa yang sesungguhnya terabaikan atau bahkan disingkirkan dalam sistem-sistem pengetahuan itu. Juga filsafat dapat memperjelas pola-pola pemahaman yang berlaku dalam tiap sistem itu, bagaimana interpretasi dan idealisasi pengalaman disana dipercayai dan dipertahankan, misalnya. Maka filsafat tak lagi mesti menjadi suatu sistem yang “all encompassing” . Ia hanyalah perenungan reflektif lebih jauh tentang berbagai cara bagaimana realitas kehidupan ini dipahami dan bagaimana makna-makna diciptakan, dengan selalu mengaitkannya kembali ke medan pengalaman-pengalaman konkrit. Bagi mereka yang belajar filsafat secara klasik, boleh jadi ini akan dilihat sebagai tahap ketika filsafat kehilangan identitas atau mengalami degradasi. Tapi dari sudut lain bisa saja ini dilihat justru sebagai proses evolusi.

Agama
Orang umumnya meyakini bahwa millennium ketiga ini ditandai dengan bangkitnya kembali kehidupan religius. Maka abad ini sering disebut sebagai abad post-sekular, abad dimana sekularisme atheistik dianggap tak lagi meyakinkan sebagai kerangka pandang.[12] Ada berbagai unsur yang telah mengangkat religiusitas kembali menjadi primadona, dan umumnya bukanlah karena daya tarik agama-agama itu sendiri an sich. Religiusitas bangkit sebagian karena ideologi-ideologi besar ambruk , sebagian lagi karena dunia sains sendiri akhirnya sampai pada fenomena-fenomena yang berkaitan dengan eksistensi suatu intelegensi kosmik transenden, sebagian lain karena kehidupan modern sekular akhirnya mengakibatkan gejala umum kekosongan batin mendalam, dsb.dsb. Bersama dengan naiknya religiusitas, justru agama-agama tampil sebagai penuh persoalan. Ini memang ironis.
Agama bagaimana pun adalah produk dari perkembangan kesadaran bangsa manusia. Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang meski terasa simplistik toh ada gunanya untuk melihat peta besar, babakan awal kehidupan agama bisa disebut sebagai periode “Arkhaik”, yaitu ketika agama-agama berfokus pada realitas ilahi yang metafisik dan mengatur perilaku umatnya dalam ritual dan mitos yang ketat. Babakan kedua adalah periode “Axial” , yang bersama dengan munculnya para nabi macam di Israel, Persia, India, Cina hingga Arab fokus bergeser ke arah nilai etis. Kesalehan vertikal dalam ritual dan pengakuan doktrin tidak cukup, religiusitas menuntut komitmen nilai dalam hubungan manusiawi horizontal. Babakan ketiga adalah periode “Modern”, ketika bersama dengan penyebaran ajaran, agama-agama mengalami pembakuan doktrin dan pembentukan jaringan institusi. Pada tahap ini agama banyak berfokus pada perkara struktur. Struktur ajaran dalam rupa pernyataan (proposisi) verbal maupun wacana menjadi penting, tapi juga struktur organisatoris mengalami perluasan dan perumitan.[13] Agama menjadi “logo-sentris” alias sangat nyinyir dalam soal kalimat atau konsep, dan akrab dengan struktur-struktur kekuasaan. Etos yang menghidupinya adalah etos “tanggungjawab” sebagai “pemegang kebenaran paling murni”, tanggungjawab atas keselamatan bangsa manusia . Tapi persis karakter-karakter yang terakhir itulah yang juga menyebabkan agama saat ini menyandang banyak persoalan, yang tersingkap kini justru ketika situasi jaman menyeret agama ikut menjadi salah satu primadona juga.
Adalah idealisme tentang “tanggungjawab” itu yang juga telah sempat melahirkan kolonialisme serta berbagai tendensi ke arah penindasan dan kekerasan (perang, perbudakan, terorisme,dsb.). Ketika proposisi tertentu “disucikan” sebagai doktrin, agama otomatis mendefinisikan tentang apa yang secara moral benar dan apa yang salah, apa yang dianggapnya “kodrat” apa yang bertentangan dengan kodrat. Ini dengan mudah membawa konsekuensi bahwa segala ajaran lain yang bertentangan dengannya akan dicap sebagai tidak sesuai dengan “kodrat” kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan, maka umat pengikutnya pun bisa dianggap sebagai setan, ancaman berbahaya terhadap kemurnian, dan akhirnya perlu ditaklukan, dibasmi, atau dianggap saja warga kelas dua. Semua itu justru karena rasa “tanggungjawab” itu. Berbagai peperangan dan kekerasan religius selama ini adalah manifestasi paling grafis dari tendensi tersebut. Semakin bersikukuh mencanangkan “kemurnian” kebenaran dan tanggungjawab, semakin besar tendensi agama-agama ke arah kekerasan.. Dan konsekuensinya : justru semakin tak meyakinkanlah konsep mereka tentang Tuhan bagi intelegensi jaman.
Namun yang lebih mengaburkan idealisme “tanggungjawab” adalah aliansi antara yang suci dan kekuasaan. Dalam masyarakat pra-modern dahulu kekuasaan sekular tergantung pada penyuciannya (sanctification). Dengan konsekuensi, kekuasaan sekular merupakan semacam sarana bagi yang suci. Dalam masyarakat modern sebaliknya, yang suci seringkali tergantung pada kekuasaan sekular. Konsekuensinya, yang suci menjadi sarana saja bagi kekuasaan sekular, terutama bagi kekuasaan politik atau pun bisnis. Pada kedua kemungkinan itu tendensi korup dan kesewenangannya sama saja. Sisi tragis dari itu adalah bahwa korbannya tak lain kewibawaan dan kehormatan agama-agama itu sendiri. Semakin agresif dan kuat persekongkolan antara kekuasaan dan agama-agama, sebenarnya semakin kehormatan agama-agama itu sendiri terancam merosot dan rusak. Sayang ini tak mudah disadari.
Benar bahwa aliansi dengan kekuasaan sekular itu telah memungkinkan agama membangun peradaban-peradaban manusia yang dahsyat dan mengagumkan. Namun aliansi dan tendensi yang sama jugalah yang kini menjadikan agama-agama bertendensi patologis dan menjadikannya potensi paling destruktif yang mampu menghancurkan peradaban manusia, lebih dari senjata pemusnah massal apa pun.
Semua fenomena itulah yang mengakibatkan kini muncul tendensi baru , yaitu di satu pihak religiusitas memang bangkit, namun pada saat yang sama berkembang pula justru kecenderungan sikap sangat kritis-berjarak terhadap agama sebagai doktrin, sistem ritual maupun institusi; semacam tendensi post-dogmatis yang lebih berfokus pada pengalaman eksistensial dan transendental, “religion without religion”, kata John D.Caputo. Tentu ini sekaligus beriringan dengan kutub lain yang persis kebalikannya, yaitu tendensi ke arah fundamentalisme yang dengan membabibuta memeluk sistem doktrin, ritual maupun institusi, seringkali karena panik dan tidak mampu menghadapi kemelut dunia yang sedang berkecamuk dalam aneka perubahan yang memang membingungkan. Makin terasa kacau dunia ini, makin kuatlah tendensi ke arah fundamentalisme, makin kerdil martabat agama. Jaman ini memang ditandai dengan demikian banyak paradoks. Agama-agama besar , bila hendak dianggap masih berarti bagi peradaban, perlu menghadapi berbagai persoalan multidimensi itu. Diperlukan semacam redefinisi, pemahaman-diri baru: mesti dipahami sebagai apa sebenarnya agama-agama itu. Jika tidak isu kebangkitan agama hanya akan merupakan ilusi egosentris yang kosong dan naïf.

Mendudukan Perkaranya
Tentang sains. Hasil-hasil positif dari sains dan teknologi tentu tak bisa diragukan. Yang perlu diwaspadai adalah aspek ideologis dan paradigmatisnya. Hasil-hasilnya yang memukau tak mesti berarti bahwa sains atau iptek harus dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran dan kesahihan pengetahuan. Intelegensi manusia masih jauh lebih misterius dan lebih luas daripada yang bisa dikategorikan oleh sains, apalagi oleh ilmu-ilmu eksakta. Kini makin disadari bahwa kecerdasan di bidang religius (mistik), politik, bisnis, seni, apalagi klenik, dsb. sebetulnya tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kriteria IQ,EQ, bahkan SQ misalnya. Ada berragam jenis kecerdasan, berbagai jenis pengetahuan, dan banyak bentuk “logika”. Dan tidak perlu ada satu jenis meta-bahasa yang merangkum semua bahasa-pengetahuan, satu logika yang seragam dan universal. Jenis-jenis pengetahuan tradisional pun tak perlu baru merasa sahih dan qualified hanya setelah dapat diterjemahkan dalam bahasa sains. Suatu kerangka bahasa (logika) tak selalu bisa diterjemahkan dengan persis kedalam kerangka bahasa (logika) lain. Yang diperlukan adalah saling berinteraksi dan mengambil inspirasi dari satu sama lain, saling memperkaya, tapi juga saling memperkarakan, saling mengoreksi dan mempercanggih diri melalui yang lain.
Namun di sisi lain, dalam beberapa aspek tertentu, sains memang masih dapat dianggap memiliki beberapa keunggulan tersendiri yang menyebabkannya layak mendapatkan privilese diantara jenis pengetahuan lain. Selain hasil-hasilnya paling nyata dan meluas, sains tetaplah merupakan etos terbaik dalam hal belajar dari kesalahan dan pengalaman konkrit, dengan prinsipnya yang menjunjung tinggi kejujuran, penalaran kritis, ketelitian, keakuratan, keterbukaan pada wacana publik (transparansi) maupun keketatannya pada pembuktian. Secara sosiologis (politis) pun sains dan teknologi telah sangat berjasa memungkinkan segala manusia di belahan bumi mana pun terlibat dalam komunikasi intens dan penalaran bersama, dalam kedudukan dan martabat yang sama, demi kepentingan bersama (kendati disana-sini tentu bisa terjadi distorsi yang tidak adil). Terutama dalam arti yang terakhir itulah sains tetap bernilai sentral. Dan kita tak perlu kembali ke jaman purba.
Yang mesti tetap dirawat dan dijunjung tinggi oleh Perguruan Tinggi sebagai pengusung utama kehidupan sains adalah terutama etos-nya itu, yaitu intensitasnya dalam belajar dari kesalahan, dengan prinsip kejujuran, kekritisan, keterbukaan dsb, itu; tapi juga komitmennya dalam bernalar bersama, dalam kesederajatan, demi kepentingan bersama.
Tentang filsafat. Dari refleksi kritis para filsuf mutakhir memang kini ambisi filsafat untuk mencari dasar terkokoh pengetahuan atau satu kepastian dasar terdalam dan universal seperti sirna. Luruh pula ambisi filsafat untuk menciptakan sistem pemikiran tunggal monumental dengan logika ketat (rigorous). Tapi nilai dan kebermaknaan filsafat tidak hanya di wilayah itu. Filsafat tetap memiliki posisi unik dan signifikan terutama dalam kemampuannya memetakan kait-mengait berbagai bidang kehidupan manusia secara menyeluruh ( yang tak mungkin dilakukan oleh sains); dalam ketajamannya menyingkapkan persoalan-persoalan mendalam peradaban manusia ,yang seringkali tersembunyi, pelik dan kompleks; dalam kenekadannya menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami dunia dan kemanusiaan kita; tapi juga dalam kebrutalannya memperkarakan dan menguncang-guncang lagi setiap kali banyak hal yang telah lama kita yakini, agar pencarian kebenaran tetap berjalan mengalir, tidak terperangkap dogmatisasi atau mengalami stagnasi. Dengan cara itu, dalam konteks perguruan tinggi, filsafat dapat berperan membetot kembali setiap kali segala kiprah keilmuan yang spesialistis itu ke arah persoalan nilai dan makna pada tingkat pengalaman real maupun kemanusiaan global; tapi sekaligus juga menarik kembali segala kiprah ilmu ke persoalan-persoalan dasar teoritis-paradigmatis intern keilmuan sendiri. Pengaitan kembali pada konteks eksternal maupun internal itu adalah bagian essensial dari tanggungjawab keilmuan para akademisi, sebagai ilmuwan maupun cendekiawan sejati. Ini terasa urgen justru ketika Perguruan tinggi dan dunia keilmuan umumnya kini keasyikan terbenam dalam perspektif pragmatis dan motif ekonomis. Perguruan tinggi tak boleh hanya menjadi balai pelatihan tukang, supermarket ilmu atau bursa gelar. Kehormatan dan nilainya terletak pada posisinya sebagai ajang proses interaksi kecendekiawanan, dan dengan itu sekaligus sebagai benteng kokoh dimana martabat dan harkat kemanusiaan, peradaban dan kehidupan dirawat serta dipertahankan.
Tentang agama. Dalam konteks peradaban sesungguhnya agama tetaplah bisa dilihat sebagai oasis yang mampu menyuburkan sisi-sisi terbaik manusia, sebagai “the mind in all the mindlessness of the world” atau “the heart in the heartless world”.[14] Tapi juga sebagai upaya yang tak pernah berhenti untuk mewujudkan cita-cita luhur yang “tak mungkin” sampai menjadi mungkin. Sayangnya itu semua sering terkubur oleh antusiasme berlebihan yang membabi buta, oleh kesempitan wawasan, oleh krisis identitas, oleh nafsu kekuasaan, atau pun egosentrisme kekanak-kanakan. Dan dengan itu agama malah justru menjadi bahaya laten paling destruktif bagi peradaban. Perguruan tinggi, terutama yang menyandang nilai-nilai agama secara eksplisit, perlu ekstra waspada terhadap ironi-ironi yang kerap tak disadari itu.
Iman bukanlah hanya perkara perasaan dan hati. Antusiasme perasaan yang berlebihan bisa berdampak keluar ngawur dan mengerikan, apalagi bila agressi dihayati sebagai kesalehan. Dalam berhadapan dengan kompleksitas kehidupan dan peradaban , iman perlu juga dijernihkan dan dimatangkan oleh akalbudi. Hati dan perasaan pun perlu diasah dan dididik oleh penalaran. Meksipun sebaliknya juga benar. Tapi yang lebih pokok lagi barangkali adalah bahwa iman itu soal perbuatan, bukan perkara institusi atau pun proposisi (dogma). Dan agama, dogma atau pun kitab suci jelas bukanlah Tuhan itu sendiri. Perguruan tinggi , yang senantiasa mencari kebenaran, mesti selalu berani meletakkan Tuhan -sang kebenaran itu- sebagai sesuatu yang masih perlu dicari. Keyakinan berlebihan bahwa kebenaran ilahi sudah ada ditangan mudah sekali membuat kita merasa mampu membaca pikiran Tuhan. Dan itu hanya satu langkah untuk menganggap diri kita Tuhan itu sendiri, lantas dengan mudah kita mengadili dan menghukum yang lain.

Makalah ini disampaikan sebagai Oratio Dies, 17 Januari 2004, di Universitas Parahyangan, bandung

C a t a t a n :
[1] Yang dimaksud dengan “sains” disini bukanlah hanya ilmu-ilmu eksakta seperti dipahami dalam kerangka berpikir klasik, melainkan segala jenis ilmu positif-empiris, termasuk human-sciences dan segala jenis ilmu baru yang bersifat multi/interdisipliner.
[2] Robert L.Park, “The Danger of Voodoo Science”, The New York Times (Sunday, July 9,1995)
[3] tentang suara kaum Feminis, Sandra Harding secara berolok-olok mengusulkan mengganti “prinsip-prinsip mekanika Newton” menjadi “manual perkosaan ala Newton”. Lihat dalam tulisan Constance Holden, “Reason under fire”, Science, Vol.268 (June 30,1995)
[4] Feyerabend mengatakan misalnya : “The rise of modern science coincides with the suppression of non-western tribes by western invaders. The tribes are not only physically suppressed, they also lose their intellectual independence and are forced to adopt the bloodthirsty religion of brotherly love –cristianity…..Today this development is gradually reversed…. But science still reigns supreme….. Thus, while an American can now choose the religion he likes, he is still not permitted to demand that his children learn magic rather than science at school….And yet science has no greater authority than any other form of life.” Lihat P.K.Feyerabend, Against method : Outlines of an Anarchist Theory of Knowledge (London : New Leaf Books,1975) hlm.299
[5] F.Capra, Ilya Prigogine, David Bohm, atau para tokoh Studi Proses macam F.Ferre,D.Ray Griffin,dsb. adalah mereka yang mengolah gagasan-gagasan baru ini. Lihat, F.Capra, The Web of Life (London :Flamingo, 1997),; Ilya Prigogine et al, Order out of Chaos ( London : Flamingo, 1990), ; D.R.Griffin, TheReenchantment of Science ( New York: State University of New York, 1988)
[6] Berbagai otokritik di wilayah sains ini sebetulnya kini telah menjadi pendapat umum yang populer. Lihat misalnya ,A.F. Chalmers , What is this thing called Science ? (St.Lucia : University of Queensland Press, 1982); T.Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago : University of Chicago press, 1970); M.Polanyi, Knowing and Being ( London : Routledge and Kegan Paul, 1969);
dan tentu saja Karl Popper ,Conjectures and Refutations ( London : Routledge and Kegan Paul, 1969) dan Objective Knowledge (Oxford : Oxford university Press, 1972).
[7] Rute perjalanan filsafat Barat hingga ke tingkat problematisnya hari ini tentu lebih pelik dari yang terurai disini. Untuk uraian lebih rinci silahkan lihat tulisan saya yang lain : Bambang Sugiharto, Postmodernisme, tantangan bagi filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1996).
[8] Bdk. E.Husserl, Cartesian Meditations, terj. David Cairns ( The Hague : Martinus Nijhoff,1960), hlm 136-37
[9] Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, terj.Colin Smith (New York : the Humanities press,1962) hlm viii-xi
[10] ibid hlm xvii-xix
[11] Ini inspirasi dari gagasan tentang “web” Fritjof Capra, op.cit.
[12] Istilah “post-sekular” kini banyak digunakan. Lihat misalnya : Phillip Blond (ed), Post-secular Philosophy ( London : Routledge, 1998), atau John D.Caputo, On Religion (London : Routledge, 2001).
[13] Bdk. Huston Smith, Beyond the Postmodern Mind ( Wheaton,Ill: The Theosophical Publishing House, 1989) hlm.84-86
[14] Ini istilah-istilah manis yang digunakan John .Caputo, op.cit.



Kepustakaan

BLOND, Phillip, (ed), Post-Secular Philosophy (London : Routledge,1998)

CAPRA,Fritjof, The Web of Life, (London : Flamingo, 1997)

CAPUTO,John, On Religion ( London : Routledge, 2001)

CHALMERS,A.F., What is this thing called Science ? (St.Lucia : University of Queensland Press,1982)

FEYERABEND, P.K.,Against Method : Outlines of an Anarchist Theory of Knowledge (London : New Leaf Books, 1975)

GRIFFIN,David Ray, The Reenchantment of Science (New York : State University of New York,1988)

HOLDEN ,Constance, “Reason under Fire” ,Science vol 268 (June,30, 1995)

HUSSERL,Edmund, Cartesian Meditation (The Hague : Martinus Nijhoff, 1960)

KUHN,Thomas, The Structure of Scientific Revolution (Chicago : The University of Chicago Press,1970)

MERLEAU-PONTY,Maurice, Phenomenology of Perception ( New York : The Humanities Press, 1962)

PARK,Robert,L., “The Danger of Voodoo Science”, The New York Times (Sunday, July 9,1995)

POLANYI,M, Knowing and Being (London : Routledge and Kegan Paul, 1969)

POPPER,Karl, Conjectures and Refutation ( London : Routledge and Kegan Paul,1969)

___ , Objective Knowledge (Oxford :Oxford University Press, 1972)


PRIGOGINE,Ilya, Order out of Chaos ( London : Flamingo,1990)

SMITH,Huston, Beyond the Postmodern Mind (Wheaton,Ill : The Theosophical Publishing House,1989)

SUGIHARTO, Ignatius Bambang, Postmodernisme : Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1996)

ONTO-ECOLOGICAL DIMENSION OF KNOWLEDGE

By : Bambang Sugiharto

Human civilization has never been so indeterminate like at the present day. We have the power and possibility to elevate ourselves to a higher level of humaneness, a qualitative leap in the evolution of our nature. At the same time we are facing a greater and unprecedented possibility towards total self destruction. The root of the situation is , admittedly, very complex. One of the most crucial factors , however, is the ambivalent growth and the peculiar character of our knowledge.
Along with the increase in knowledge at an incredible pace (it is estimated that the amount of scientific knowledge has doubled every ten years), a very powerful, yet elusive, violence has been growing unwittingly. The violence is powerful and elusive precisely because it manifests itself as the truth, that is, as the “universal”, “neutral” and “objective” knowledge of reality, and legitimizes itself in terms of very significant technical development and improvement of physical life, which is undeniable. In the name of scientific research and rational inquiry everything is called into question. Worse still, like a river which bursts its dams, everything that stands against their expediency is swept away. Thus, traditional knowledge, religious worldviews, rich and profound folk-tales –all kinds of intuitively achieved and existentially nourished wisdoms about our inherent relatedness to nature- are deprived of authority and legitimacy, and subsumed under the all-encompassing criteria of scientific critical reason.
Grave ecological crisis today is but a practical impact of a greater “ontological violence”[1] behind such peculiar scientific knowledge. The heart of the problem lies partly in the postulates used by science, but mostly in its modern ontological project, along with its epistemological ambitions. What is required, therefore, is not simply practical solution or strategy of action, but rather a substantive change of worldview and rethinking of how ontology, epistemology and science are to be conceived better today.


Modern Project revisited
The philosophical context of the above problems is the movement of thought originating with Descartes, culminating in Enlightenment, and perpetuating itself up to the twentieth century.
The seventeenth century had seen the real task of philosophy in the construction of the philosophical “system”. Truly “philosophical” knowledge had seemed attainable only when thought, starting from a highest being and a highest certainty intuitively grasped, succeeded in spreading the light of this certainty over all derived being and all derived knowledge. This was done by the method of proof and rigorous inference, which added other propositions to the first original certainty, and in this way linked together the whole chain of possible knowledge.
In the eighteenth century , the abundant flowering of knowledge and the substantial concrete changes it brought about in cultural as well as material conditions have made people of the Enlightenment believe that theirs was “the Century of Reason”, a “Philosophic Century” ( d’Alembert). Quantitative changes and expansion are always followed by a qualitative determination; hence the extension of knowledge inspires further inquiry beyond the periphery of knowledge, and this, in turn, drives one to rethink the centre and the essence of knowledge in general. In seeing multiplicity one is tempted to find a unity, to make sure that the breadth of knowledge leads the intellect back to itself. The philosophy of the Enlightenment, then, believes that variety and diversity of knowledge are the unfolding of an essentially homogeneous formative power called “reason”. Therefore reason should come to full awareness of its own activity, of the whence and whither, the origin and the goal, of its impulsion.
It is believed that reason is basically the same for all thinking subjects, all nations, all epochs, and all cultures. From various religious creed, moral maxims and convictions, theoretical opinion and judgments, a firm and lasting element can be extracted. And it would be something permanent in itself and would express the real essence of reason.
Such spirit and belief have always been at the heart of philosophy throughout its history since the antique Greek period. However, the eighteenth century has its own “differentia specifica” . For them the regularity, the order or the law are not to be found in the Greek metaphysics, neither in the logic of the scholastic, nor in the Cartesian purely mathematical concept, but rather, in the “logic of facts”. The mind must gauge itself constantly by the abundance of phenomena unfolded by contemporary natural science.[2]
While the seventeenth century was animated by the “spirit of systems” , the eighteenth century philosophers would not attempt to anticipate from the outset such “reason” in the form of a closed system. They would rather let the reason unfold gradually as knowledge of the facts progresses. This is the new alliance between the “positive” and the “rational” spirit.
The salient tendency of modern philosophy henceforth is that, on the one hand, it seeks to realize philosophy’s traditional goal of achieving a basic, universal and fundamental knowledge ( episteme, wissenschaft) of “what is” ( ta onta) by turning inward, into the knowing subject herself, that is, by ordering her own ideas according to the unquestionable laws of logic. On the other, it also seeks to represent as much as possible the objective reality in its positivistic rational certainty. The tension between the ambition of this metaphysics of “foundationalism” and the positivistic project of “ representationalism” perpetuates itself up to the twentieth century. After Descartes, Locke, Kant and Hegel, its last yet decisive echo we find in Husserl. Today we know very well that , ironically, Husserl’s phenomenology was in fact the swan-song of this whole philosophical tradition. The problem is that, on the one hand, such ontological project, especially with its primacy of the disengaged subject, has led philosophy to its highly “egological”, anthropocentric, and monolithic tendencies. And on the other, positive science, with its focus on the objective representationalism eventually tended to foster instrumental reason. The strange combination of both lines has resulted in the primacy of “ideo-logy” as the logical consequence of the self-sufficiency of intellect, in the development of a stance of exploitative domination of the world, and in the impoverishment of morality. And these are the deeper roots of the ecological problems.



The ambivalence of Phenomenology
Husserl’s life long ambition was actually to bring to fulfillment the innermost yearnings of such Platonic-metaphysical tradition as well as Cartesian ambition by finally putting philosophy into a posision of a rigorous science, strenge wissenschaft. He sought to discover an absolute foundation, a genuine fundamentum inconcussum, by “back to the things themselves”, that is, by return to the immediately given and original data of our consciousness, what he believed as “the first beginning”. Through the various “reduction” that he deployed he came to the concept of “transcendental subjectivity”, the pure and worldless ego. Thereby he moves from beings to meaning, from the ontic to the ontological level. The unceasing archeological probing of the realm of transcendental experience, however, eventually led him to his greatest and crucial point, which actually was to call into question his guiding idea of science itself, namely, the idea of the “life world” ( Lebenswelt ).
The life-world is the pre-reflective and pre-scientific world of lived experience on which all scientific constructs are built. From this follows that all scientific constructs are mere idealizations, abstractions from and interpretations of this pre-reflective world of immediate life. The “objective” world of science is but an interpretation of the immediate life-world which actually transcends or precedes all objectivistic-subjectivistic categories.[3] Now, in spite of Husserl’s own initial intention, this notion of the life-world ultimately undermines the very claims of science to a mode of knowing which is truly presuppositionless and foundational. What is crucial in Husserl’s line of thought, which has led him to such turning point and later on opens new perspectives for ontology is his concept of intentionality, the notion that consciousness is always consciousness of something, hence the statement “ego cogito cogitatum”. It is a combination of Cartesian themes of evidence and intuition with the fundamental Kantian themes of synthesis and constitution, and this eventually makes the notion of “reality in itself” as well as Cartesian disengaged consciousness absurd. Again, contrary to Husserl’s own intention.
Heidegger, who elaborated further the basic inspiration of Husserl, has shed new light upon the problem of “Being”,”Truth” and philosophy in general. The life-world, for him, in reality is nothing other than the existence, that is, Being which exists in the condition of temporality, hence in history and in the world. Ontology is the effort to disclose the meaning and the structure of Being. And this is to be done through the existential analysis, which is no other than what he calls “hermeneutics”. Philosophy, then, is phenomenological ontology which takes its departure from the hermeneutics of Dasein. In this connection, human subjectivity is not to be taken as a transcendental worldless ego, but as the concrete being in the world, which in its orientation towards possibilities beyond itself, is capable of interpretation.[4]
But it is Merleau-Ponty who paves a more definit new way towards doing ontology. Taking his point of departure in Husserl’s phenomenology of the Life-world, he shows that perception is our primordial contact with the world. Perception is the only mode in which the meaning of Being is originally constituted. And for the most part perception is pre-conscious, pre-personal, and not-yet-free. It is materialized by a bodily ego which is also preconscious. Now, since it concerns the preconscious level of existence, phenomenology is a matter of description, rather then of analysis (Husserl) or of interpretation (Heidegger). When I begin to reflect, my attention bears on an unreflective experience, and thereby I recognize that the world has priority over my own direct intellectual operation. For this reason, the real is to be described rather than constructed or constituted. Perception is the background from which all acts stand out and which all acts presuppose. Correlatively, the world is not an object whose law of constitution I carry in me. It is , rather, the natural field for all my thoughts and all my explicit perceptions.[5] For humans a radical reflection amounts to a consciousness which is conscious of its own dependence on an unreflected life which is its initial situation. Therefore what must be understood and conceptualized in ontology is the way in which we are effectively interwoven with the world. In this framework, what we so far call “essences” or ideas in general are to be taken as means and not ends. Since our ek-sistence is too tightly caught up in the world to be able to know itself at the moment of its actual involvement, it needs the ideas in order to recognize and conquer its own facticity.
Philosophers since the time of Descartes have tried to solve all problems by pointing either to apodictic evidence or to eternal truths. For Merleau-Ponty, however, we are always already in the realm of truth, and it is the experience of truth, that is, the experience of the world, which is self-evident. The fundamental unity between myself and the world appears more clearly in our desires, emotion, evaluations and behaviour, than in our objective knowledge. It is this intentionality which furnishes the text of which our theoretical knowledge is merely an attempt at exact translation.[6]
Thus, Merleau-Ponty shifts the centre of gravity from subjectivity to world. Rationality is primarily embodied in the connection with the world in history. Therefore, all our knowledge is ultimately rooted in a ground of postulates which has emerged in history. Philosophy must make use of the world and of the meaning which is already constituted. But it must also interrogate itself just as it does every other form of knowledge. This is an infinite process. And if philosophy as ontology is to elucidate the meaning of Being, then the meaning is to be seen as appearing at the intersection of my own experiences and of the experiences of other people. The world is as inseparable from subjectivity as it is from intersubjectivity. This is also the reason why all my experiences in regard to the world find their unity only when I take up my past experiences in those of the present, and other people’s in my own.

An ecological mode of doing ontology
Through Heidegger , and Merleau-Ponty in particular, all the above story has eventually led to the primacy of experience. Today if we are seeking new way of understanding things , it seems that experience is the best vantage point. We can take it as the centre of gravity.
The strategy of quantification and measurement in the modern positivistic approach, in spite of its undeniable success, has also exacted a heavy toll. Many important and valuable things in human life are overridden, for instance : sound, sight, touch, smell, taste; and along with them, ethical sensibility, values, quality, soul, consciousness and spirit. Hence experience as such is cast out of the realm of scientific discourse. If experience is taken into account at all, it is objectified in such a way that it loses its inner historicity, its characters as a process and as a unique event. Scientific method, including historico-critical method in the Human sciences, are concerned to guarantee that basic experiences can be repeated by anyone. Experience is valid only if it is confirmed. Its dignity depends on its being in principle repeatable. It is believed that for the sake of true knowledge, the pure use of reason is required. And this is accomplished when the particularity of experience is overcome by means of methodical principles. Hence Bacon’s method of induction seeks to rise above the irregular and accidental way daily experience occurs. Hegel sees experience only as a moment of consciousness in its dialectical process to be overcome by absolute knowledge. The nature of experience is conceived in terms of something that surpasses it. In itself experience can never be science. Husserl makes an attempt to go back genetically to the origin of experience and to overcome its idealization by science. But his preoccupation in the problem of consciousness renders him stuck in the realm of subjectivity -transcendental subjectivity. For this reason, his analysis substitutes the reconstruction of experience for an account of experience.
When we take experience as the centre of gravity, that which counts is the fact that our primordial experience of the world is the pre-conscious experience of undifferentiated unity between the inner and the outer world; the inter-relatedness of everything with everything. This primordial experience of unity suggests different way of looking at things, hence different metaphor. The significant shift is from objects to relationships. In the mechanistic view, the world is a collection of objects. These objects certainly interact with one another, hence there are relationships between them. But the relationships are secondary. When we see it in terms of unity, the objects themselves are to be seen as networks of relationships, embedded in larger networks. The relationships are primary. This is one of the most significant inspirations coming from the framework of a school called “Deep ecology” whose exponents are , among others, Arne Naess and Fritjof Capra.[7]
For thousands of years western philosophers have used the metaphor taken from the realm of Architecture. Hence they speak of “foundation”, “fundamental”, “ground”, “building”,etc. These metaphors proved to be no longer compatible with today’s development of thoughts. New metaphors are required. And the notion of “network of relationship” for the time-being seems to be more suitable for describing the complexity of Being. As we perceive reality as a network of relationships, our descriptions too, form an interconnected network of concepts and models, in which no single foundation is required.[8]
When this approach is applied to systems of knowledge as a whole, it implies that philosophy or physics can no longer be seen as the most fundamental level of knowledge. Since there is no foundation in the network, the phenomena described by philosophy or physics are not anymore fundamental than those described by , say, psychology or even acupuncture. All forms of knowledge, whether scientific or traditional, are simply the various language games by means of which people come to some understanding of their experience in relationship with Being in the world. Following Heidegger and Gadamer, language is the fundamental mode of operation of our Being-in-the world . [9] Ontology, then, is to be understood more in “horizontal” instead of “vertical” perspective (transcendental and foundational). The ultimate meaning of Being and of knowledge is to be articulated neither in terms of monolithic grand system, nor in the data which is apodictically evident, but rather, in the richness and complexity of interpretations through various language-games.
The intersubjectivity already found in the tradition of phenomenology can be stretched further into intercultural and interdisciplinary relationships. What can be expected from such ontology is not a single transcendental and essential meaning of Being, but rather, the ever greater disclosure of its richness and complexity. While some philosophers like Rorty or Lyotard see such intercultural relationship as necessarily antagonistic, the relationship can also be seen as natural and healthy interdependence. When we draw a picture of a tree, most of us will draw a figure consisting of leaves, twigs, branches and a trunk, as an autonomous entity or system. We usually forget to draw the roots. Yet the roots of a tree are often as expansive as the parts we see. In a forest, moreover, the roots of all trees are interconnected and form a dense underground network in which there are no precise boundaries between individual trees.
Various types of knowledge are formed based on specific circle of question and answer, as well as on particular postulates, and in this way each creates its own autonomous network of concepts and models. These different networks, however, one way or another must have some interconnections with or overlap each other. Nothing natural is absolutely alien to each other. As autonomous systems they can compete with one another in terms of their capability to describe the real complexity of Being. As a mere node of the wider network, however, every system of knowledge finds its sources, differance, and legitimacy only in relation with other systems, in such interdependence that we can see it as nesting within , or living inside, one another.
In this connection, what is left for epistemology to do is to bring to consciousness what is concealed and closed off by those systems of knowledge , especially by the dominant ones –such as by techno-scientific project- due to their specific postulates and methodologies. Epistemology serves as ancillary discipline which, by way of hermeneutics, seeks to specify the actual mode in which a certain type of understanding occurs , or the ways in which its interpretations and idealization of experience are put forward, defended and believed in.
In its broad sense, then, philosophy does not necessarily mean an “all-encompassing” system of thought “rigorously” built, rather it can mean simply a reflective inquiry which is concerned with our entire understanding of the world. It is ultimately a reflective recognition of the finitude of all human claims to knowledge. And in this way it can play an important role in enhancing dialogue among different language games in order to achieve mutual understanding and enrich each other with new conceptions of the world. And by putting the human subject back into the primordial experience of unity, philosophy will revitalize and reinforce all modes of human fundamental interconnectedness with the larger networks, be it in the sense that humans are myriads of nodes of the network of nature, or that the natural-cosmic network exists inside them. This is a playful de-centering as well as re-centering of the human subject in a relational way. It is re-centering in the moral sense, namely, that as the most advanced offspring of natural evolution, human subject plays the role of “nature which has come to its own consciousness”, hence the most responsible for its dignity. It is de-centering in that the human subject is seen in terms of its unity with and as a node of the gigantic network of nature. This basic unity manifests itself more in psycho-physical level rather than in the intellectual level. It is more a matter of mystery and complexity of the so called “feelings”,which we might also call “the language before language”, through which all components ( inner and outer, microscopic and macroscopic) communicate with each other.
Viewed in this way, the connection between the ecological perception of the world and the corresponding ethical behaviour would not simply be a logical but also a psychological connection. If we have deep ecological awareness or experience of being part of the web of life, then we will –as opposed to should- be inclined to care for the living nature.
It goes without saying that in this perpective the classical dualism between mind and matter, subject and object, inner and outer, substance and form, quantity and quality, etc. is to be considered no longer relevant. Along with the primacy of experience the notion of “process” comes to the fore. And by that all forms of dualism are dissolved or transformed into an ongoing circular and non-linear dialogical process. And in such context perhaps what we usually call “rationality” would be better understood as a continuous playful adaptation of language to the continually expanding understanding, due to the dialogical process.


* The paper was written for the XXIst International Symposium of Eco-ethica,, November 1- 10, 2003, Kyoto-Osaka, Japan.
[1] The term “ontological violence” might sound exaggerating, but -for want of a better term- it simply points to the repressive side of the reductionistic ontology of positive science.
[2] Cfr. E.Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment ( Princeton : Princeton University Press, 1979) p 5-7
[3] Cfr. E.Husserl, Cartesian meditations, trans, David Cairns, ( the Hague : Martinus Nijhoff, 1960), pp 136-37)
[4] M.Heidegger, being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York : Harper and Row, 1962) pp 61-62
[5] Maurice Merlau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith ( New York : Te Humanities Press, 1962) pp viii-xi
[6] I b I d pp xvii-xix
[7] see F.Capra, The Web of Life, ( London : Flamingo, 1997) p 6-8

[8] Such conviction was formalized in Physics by Geoffrey Chew in his “Bootstrap Philosophy” in 19970s. The bootsrap Philosophy not only abandon the idea of fundamental building-blocks of matter, but accepts no fundamental entities whatsoever, no fundamental constants, laws or equations. The material universe is seen as a dynamic web interrelated events. None of the properties of any part of this web is fundamental ; they all follow from the properties of the other parts, and the overall consistency of their interrelations determines the structure of the entire web. See A.N.Whitehead, Process and Reality, ( New York : macMillan, 1929)
[9] see Heidegger, On the Way to Language, trans. P.Hertz,(New York : Harper and Row ,1971) pp121-23

SENI DAN ABSURDITAS KESUCIAN

Oleh : Bambang Sugiharto

Kontroversi kasus RUU APP, razia malam yang konyol akibat Perda Tangerang, kasus karya seni Agus Suwage dan Davy Linggar, penutupan rumah ibadah, sweeping orang asing, dsb. adalah beberapa gejala yang menunjukkan bahwa perselingkuhan antara agama dan politik di negeri ini betul-betul telah mengompori meluas dan menguatnya tendensi fundamentalisme. Sebuah kemunduran yang membahayakan : membahayakan hidup berbangsa, tapi juga membahayakan dan merusakkan martabat agama itu sendiri. Kasus-kasus itu memperlihatkan bagaimana kini, sebagai alat politik, agama telah terperosok melakukan banyak hal yang demikian naïf, absurd dan menggelikan, hingga cenderung menjadi bahan olok-olok mereka yang memiliki bahkan sedikit saja kecerdasan.

Kedangkalan yang disucikan

Ketika saat ini penggunaan nalar kritis adalah sesuatu yang tak terelakkan, bahkan menjadi semacam syarat bagi kehidupan dan kemanusiaan modern yang bermartabat ; ketika dalam berbagai slogannya agama pun merayakan penggunaan akal sebagai sesuatu yang wajib, dalam kenyataannya di negeri ini akal terus menerus dikangkangi dan dianggap berbahaya, terutama bila status-quo mulai terancam. Pada titik ini akal kritis lantas dengan sewenang-wenang dicap entah sebagai “keBarat-Baratan”, “ancaman kemurtadan”, “bahaya relativisme agama”, atau yang kini populer : “ancaman bagi ahlak budaya bangsa”.
Yang terakhir itulah terutama masalahnya kini : istilah “ahlak” terus menerus digunakan untuk melegitimasikan tindakan-tindakan yang justru tak berahlak; istilah “budaya bangsa” terus menerus digunakan untuk segala strategi politik yang justru mendisintegrasikan budaya bangsa. Politisasi agama rupanya telah mengakibatkan syahwat atas kekuasaan demikian menggelegak dan disucikan, egosentrisme kelompok yang sempit dilegitimasi secara moral, dan yang lebih parah, kedangkalan serta kerancuan berpikir diyakini sebagai kesalehan. RUU APP adalah salah satu konfigurasi paling menarik dari semua kekacauan pikiran itu.
Sudah ada banyak undang-undang yang bisa digunakan untuk mengatur urusan pornografi dan perkara susila umumnya, dan berbagai kasus pun selama ini telah diproses dengan semestinya. Sesungguhnya tak diperlukan lagi undang-undang baru untuk mengatur hal itu, apa lagi dengan isi substansi yang dangkal, serampangan dan rancu. Ada banyak hal dalam RUU APP itu yang menyebabkannya bukan saja sangat lemah, tapi juga berbahaya. Tentang itu telah banyak tulisan akhir-akhir ini yang membahasnya, namun ada baiknya saya ringkaskan dahulu pendapat masyarakat ihwal RUU itu. Pertama, dasar-dasar konseptual peristilahannya tumpang-tindih, antara “pornografi”,”erotisme”, “sensualitas”, “obsenitas”dan “ketelanjangan banal sehari-hari”. Satu hal pokok yang diabaikan disana adalah soal “tujuan” (motivasi) dan “cara” atribut seksual ditampilkan. Yang spesifik pada pornografi adalah tujuan dan caranya yang semata-mata hendak memanipulasi perangsangan . Pada erotisme, obsenitas, sensualitas dan ketelanjangan-banal sehari-hari, tujuan, bentuk dan konteksnya dapat bermacam-macam. RUU itu terlampau bersemangat dengan urusan mempertontonkan aurat , hingga rancu menganggap semua itu “pornografi”. Lantas seolah juga dengan menutup aurat segala problem moralitas langsung beres. Begitu sederhana dan naïf. Kedua, RUU itu terlalu jauh mengatur wilayah moralitas individu dan memaksakan satu standard moralitas partikular bagi masyarakat yang majemuk. Ketiga, dalam berbagai sisi ternyata RUU itu melanggar konstitusi dan HAM. Keempat, dengan denda yang begitu besar sesungguhnya negara mengeksploitasi hak seksual warganya. Kelima, RUU itu menstigmatisasi secara negatif tubuh dan seksualitas perempuan, serta mengkriminalisasi kaum perempuan yang sebenarnya sudah selalu merupakan pihak yang menjadi korban. Keenam, RUU ini memberi peluang ke arah meningkatnya kekerasan oleh para polisi-moral, yang tentu lagi-lagi kaum perempuanlah yang akan banyak menjadi korban. Ketujuh, ada banyak persoalan moral yang lebih mendasar hari ini yang perlu dibenahi ketimbang sekadar urusan aurat, misalnya : gelagat kemunafikan yang begitu parah, etos kerja dan komitmen nilai yang begitu rendah, sulitnya bersikap konsisten antara idealisme dan tindakan konkrit, manipulasi isu agama untuk tujuan yang justru dapat merusakkan agama, dsb.dsb. Demikian, dari berbagai alasan diatas menjadi jelas bahwa RUU yang maunya menegakkan moral justru membawa demikian banyak karakter immoral di dalamnya. Suatu moralisme yang absurd.

Akar persoalan

Salah satu akar mendasar dari berbagai gelagat macam di atas itu agaknya adalah kekosongan dan lemahnya individu. Kekosongan ini menyebabkan individu begitu tergantung pada simbol-simbol eksternal secara harfiah dan berlebihan, ketergantungan yang sesungguhnya patologis. Simbol-simbol itu menggantikan ketiadaan isi dalam diri, menggantikan ego, sekaligus memberi ilusi bahwa dirinya adalah bagian dari entitas ego-kolektif yang lebih besar. Ada sejenis megalomania dan kengototan pada kemutlakan, yang menyembunyikan rasa ketidakberartian. Itulah sebabnya jumlah massa, pengeras suara, berbagai spanduk, jumlah tempat ibadah, dan berbagai bentuk formalisasi eksternal prinsip-prinsip yang diyakini dianggap begitu penting. Sementara segala bentuk tafsir nalar mendalam adalah bahaya merusakan kepastian permukaan, maka akan coba selalu dihindarkan. Namun dengan itu sesungguhnya individu-individu itu menjadi makin rapuh, sebab secara mental dan intelektual tak teruji. Akibatnya kecenderungan defensif pun menjadi terlampau besar, dan pada tingkat bawah-sadar senantiasa dibayangi kecurigaan dan ketakutan. Celakanya kecurigaan dan ketakutan sesungguhnya adalah sumber kekerasan, yang bukan hanya membahayakan pihak lain, melainkan juga merusakan diri sendiri.
Situasi komunikasi dan interaksi global sekarang sebenarnya tak bisa dihadapi dengan struktur mental macam itu. Adalah ilusi bahwa kita bisa menghindar dari segala keusilan bernalar kritis. Lagi pula alih-alih merusakkan sistem, keterbukaan untuk mengolah nalar kritis adalah siasat terbaik justru untuk memperkuat diri dan sistem itu sendiri. Sebaliknya, semakin harfiah dan tertutup suatu sistem simbol diperlakukan, semakin dangkal ia, semakin merosot martabatnya, semakin tak bernyawa dan kehilangan wibawa.

Nasib dan posisi Seni

Dalam situasi yang begitu nyinyir soal tampilan, dalam suasana ketika bentuk-bentuk permukaan demikian disucikan, seni sebagai wilayah yang memperkarakan bentuk dan tampilan par excellence barang tentu menjadi problematis. Jaman ketika seni menjadi kepanjangan tangan status-quo agama telah lewat. Dengan otonominya kini seni justru berposisi kebalikannya : menjadi wilayah paling usil dan kritis memperkarakan sistem simbol apa pun. Ia menjadi kubu yang mampu menggeledah konflik-konflik tersembunyi di balik sistem-sistem simbol itu, membongkar topeng-topeng kita dan menginfus keberanian untuk berpikir dan bersikap mandiri sebagai individu.
Aspek reflektif seni modern beserta keleluasaannya memainkan berbagai media memungkinkan individu merumuskan pengalaman-pengalaman batin yang sulit dirumuskan, menariknya ke tataran-tataran lebih dalam, ke persoalan-persoalan makna dan ruh yang lebih sejati. Seni memungkinkan kita mendobrak kebekuan-kebekuan cara memandang dan menghayati sesuatu dan berani melihat berbagai sisi baru yang tak terduga dari diri kita. Ia menawarkan peluang-peluang untuk meninjau ulang segala yang kita anggap berharga, dengan cara unik, personal dan jujur. Unik, karena seni menciptakan bahasanya sendiri yang spesifik, menerabas lintas kategori konseptual apa pun dalam rangka melihat keterkaitan maknawi baru antar apa pun.
Semua karakter itu kini tentu saja menjadi rentan, itu sebabnya hari-hari ini seni pun diburu dan diadili. Apa boleh buat, kebodohan massal yang disucikan dan dilindungi kekuasaan memang sangatlah mengerikan.

Bambang Sugiharto, pengajar filsafat di Unpar dan ITB.

SENI, PERGESERAN NILAI DAN MORALITAS

Oleh : Bambang Sugiharto

Millenium kedua diakhiri dengan rusaknya worldview konvensional. Kini segala bentuk worldview dipaksa merumuskan dirinya secara baru. Millenium ketiga diawali dengan suasana relativistis penuh ketidakpastian di segala bidang. Ini membawa perubahan radikal pula dalam cara manusia memahami diri, seni dan moralitas. Perubahan ini tidak bisa dilihat lagi secara oposisional, melainkan lebih tepat sebagai kompleksifikasi jaringan-jaringan “tekstual” yang hibrida dan tumpang tindih.

Rusaknya Worldview
Cyber-culture melahirkan : demokrasi elektronik, pluralisme perspektif, kemampuan mengorganisasi diri pada kelompok-kelompok kecil (lokal-global), transparansi komunikasi hingga melabrak segala tabu, ekstensifikasi dunia batin (privat-anonim), perayaan insting purba (Basic instinct).
The End of Ideology : otoritas sistem-sistem gagasan besar (filsafat, ilmu,agama) diragukan. Kultur menjadi polifonik. Tak ada lagi jembatan yang pasti antara “inner” dan “outer” world. Tak ada lagi sistem tunggal yang merekat berbagai pengalaman yang fragmentaris. Tak jelas lagi kapan kita merasa berhasil, gagal, berdosa, bersalah. Tak jelas lagi kepada apa kita mesti loyal dan untuk apa.
Konsep tentang“Realitas”: disadari kini, tiap klaim ttg “fakta”, dari sains sekalipun, selalu interpretif alias ber-aspek “fiktif”, konstruksi manusia yang dibentuk oleh bahasa. Dalam media, percampuran fakta dan fiksi lebih dimungkinkan lagi akibat sistem kode digital (Hyperreality). Konsep Newtonian tentang “materi” kini diragukan. “Materi” itu ternyata seperti bisa memilih : tampil sebagai sesuatu yang ber”posisi” atau suatu “momentum”, seolah ia memiliki inteligensi dan kehendak bebas, bukan benda mati. Struktur semesta sepertinya adalah struktur yang inteligen, merupakan jaringan kompleks yang tiap bagiannya mampu mengorganisasi diri secara spontan terhadap tiap perubahan terkecil sekalipun.
“Kebenaran” : sesuatu yang tak terukur, instabil, relasional. Segala klaim tentang kebenaran adalah cara manusia memahami kebenaran itu, bukan sang “kebenaran” itu sendiri. Istilah “obyektif” dan “absolut” kini terasa anakronistik.

Kaburnya konsep 'Diri'
Struktur pemahaman/pengalaman ttg diri dibentuk oleh kultur, oleh sistem-sistem semiotik tertentu. Ketika sistem-sistem itu tidak lagi tunggal, menjadi polifonik-plural, maka “diri” pun tak jelas lagi substansinya. Kecenderungan memiliki materi dan mengidentifikasi diri dengannya adalah isyarat kekosongan itu. “Diri” menjadi aneka jenis relasi, bagai aktor yang tampil dalam berbagai peran, polimorf (“Polymorphous versatility”, R.J.Lifton; “Homeless mind”,P.Berger; “Nomadic Subject”,G.Deleuze). Diri adalah kolase grotesque, dipaksa membentuk intelligibilitas dari berragam serpihan “teks” yang serba tak jelas konteksnya (aneka berita dan imaji) dan dari aneka relasi yang tak jelas maknanya. Diri adalah ibarat kumpulan cerpen yang kita tulis dan edit sendiri.
Momen-momen penting dalam hidup (lahir, nikah, kerja, mati,dst.) tak lagi cukup diberi arti oleh ritus-ritus konvensional. Ada kerinduan akan makna yang mendalam namun skeptik terhadap segala bentuk pretensi “kedalaman”, lebih suka merayakan “permukaan”. Ada keterpesonaan tanpa alasan, ada kemarahan tanpa sasaran.

Seni, hari ini
Dari representasi mimetik dunia luar, seni telah bergeser kian ke dalam, menjadi representasi dunia dalam, lalu memperkarakan hakekat representasi, medium dan materi itu sendiri, menjadi sangat konseptual. Seperti sulit bergerak lagi, ia lantas menyatu dengan yang banal, bermain dengan ironi , pastiche dan parodi, atau menikmati sunyi (dalam musik: dari tonal ke atonal, ke bunyi, ke sunyi). Kini, seni dipaksa merumuskan kembali hakekat hubungannya dengan kehidupan nyata sehari-hari.
Ada pergeseran signifikan dari idealisme simple-harmony ke disharmonious-harmony; dari perenial-ahistorical ke time-binding; dari purism ke hybrid-semiosis. Kategori-kategori lama tak lagi memadai untuk memahami segala fenomena ini.
Dalam situasi serba permisif,penuh pencarian dan percampuran, bentuk-bentuk kesenian kerap tampil dalam sosok-sosok patologis, mengejutkan,dan tak lagi berurusan dengan “keindahan”, justru dalam rangka merogoh interioritas kemanusiaan dan kebudayaan yang serba kehilangan pilar ini. Pada titik ini hubungan seni dan moralitas kerap menjadi problematis.
Karya seni tetap berpotensi membantu memperdalam pemahaman tentang kehidupan, tentang apa sesungguhnya yang kita ketahui dan apa yang sesungguhnya kita rasakan. Ia bisa juga memberikan cara-cara baru merangkai pengalaman-pengalaman yang fragmentaris. Kerap untuk itu ia menggunakan cara-cara ekstrim yang mengejutkan ataupun tidak senonoh, sebab dengan cara lain ia kehilangan daya provokatifnya.
Tapi moralitas bukanlah hanya perkara kesantunan, ia adalah soal pemahaman lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang manusiawi dan yang tidak. Dalam hal ini, karya seni bisa tidak senonoh namun dengan itu pemahaman moral kita dijernihkan dan diperdalam, karenanya ia secara moral tetap bisa disebut baik.
Tapi betul juga bahwa karya seni bisa memberi wajah indah pada kenyataan moral yang buruk. Indah tak selalu identik dengan secara moral baik. Indah bisa identik dengan jahat juga.Tapi bahkan seni jenis ini pun ada perlunya ditelaah, agar kita lebih memahami apa sesungguhnya yang kita tolak itu; agar lebih memahami manusia secara lebih jauh lagi; agar lebih memahami ambiguitas fenomen seni itu sendiri.
Siasat pencekalan karya atas nama kesantunan hanya akan membuat kita tetap dangkal dan kekanak-kanakan. Yang perlu adalah mengkaji intensi si seniman dan barangkali membatasi konteks apresiasinya.

Selasa, 10 Juni 2008

KREATIVITAS, SENI DAN BATAS-BATAS

Oleh : Bambang Sugiharto


Manusia memahami realitas dengan sistem-sistem kategori konseptual. Sistem-sistem konseptual itu memungkinkan hidup dan pengalaman dapat dimengerti. Namun pada gilirannya dinamika pengalaman sendiri menuntut pola-pola pemahaman baru, sistem-sistem konseptual baru. Pada titik ini aneka sistem konseptual dan keyakinan menjadi pembatasan-pembatasan yang perlu diterobos.

Kreativitas dan terobosan batas
Kreativitas, khususnya di bidang kesenian, berkaitan erat dengan perkara "originalitas" dan "kebaruan". Dua kata itu sudah serentak menyarankan penerobosan keterbatasan-keterbatasan. Namun seluruh suasana kultural di ambang millenium ketiga ini pun memang di tandai oleh penerobosan, atau lebih baik "perumusan-ulang" batasan-batasan.
Batasan-batasan yang dipertaruhkan hari-hari ini, dalam proses berkesenian khususnya, bukanlah sekedar batas "gaya"/aliran/ pemilahan bidang dalam berkesenian. Yang dengan sendirinya berresiko ikut terterobos adalah batas tradisi, etnisitas, religi, pola-pola berpikir, bahkan berbagai citra diri baku ,dst. Itu sebabnya istilah "dekonstruksi" sedemikian cepat menyebar kemana-mana, menjadi kata kunci jaman ini.
Namun kreativitas yang baik tidak berhenti pada sekedar dekonstruksi. Kreativitas yang baik selalu serentak merupakan proses "intensifikasi" dan"transformasi" : proses penggalian ulang realitas , pencarian hal-hal yang paling azasi dan perumusan ulang tentang apa sesungguhnya yang kita cari selama ini. Memang itu semua dilakukan dengan cara membongkar sistem-sistem keyakinan dan kategorisasi baku yang sering telah dirasa palsu. Dengan istilah Foucault, kreativitas yang baik hampir selalu merupakan proses genealogis.
Proses genealogis adalah ,katakan saja, pelacakan ulang makna hakiki suatu konsep/kategori . Itu bisa dengan cara mencurigai sejarah terbentuknya suatu keyakinan/kategori/sistem, bisa juga dengan cara memahami berbagai konsep itu melalui perspektif lawannya. Misalnya , bila mau menggali kembali hakekat sejarah G-30-S, perlulah mendengar cerita dari tokoh-tokoh PKI. Bila hendak melacak hakekat hukum di Indonesia gunakanlah sudut pandang para korban hukum di Indonesia. Bila hendak memahami keberagamaan hari ini galilah pandangan kaum pemikir bebas, sekular, bahkan ateis, dst.dst. Dari perspektif lawan itulah insight baru justru lebih bisa diharapkan. Puisi Holderlin berjudul "Patmos" mengatakan :"...where danger is, grows also the saving power."

Signifikansi karya seni
Karya seni hasil kreativitas macam itu dengan sendirinya tampil bagai sebuah "interupsi" yang memergoki realitas asli. Ibarat tiba-tiba kita membuka pintu dan segera terlihat didalam ruangan seorang pencuri sedang hendak beraksi, atau orang-orang yang sedang bicara rahasia tiba-tiba menghentikan obrolannya . Dan terpotretlah segera suasana kikuk dan aneh yang mencurigakan, yang mungkin selama ini tak pernah kita curigai. Dalam bahasa Brecht, karya seni yang baik tampil sebagai, atau menimbulkan ,"gestus" : menampilkan potret ringkas apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Dengan istilah lain lagi, karya seni yang baik dan kreatif cenderung tampil sebagai sebuah "anomali", sebuah ketidaklaziman yang menyadarkan kita pada telah mandulnya kelaziman selama ini yang biasanya tak kita sadari. Kualitas "anomali interuptif'" macam ini terdapat misalnya pada sajak-sajak Sutardji pada awal kemunculannya, pada film-film puitik Garin, pada bahasa Indonesianya novel Ayu (dan mungkin keterusterangannya),dst.
Meskipun demikian kekuatan karya-karya tersebut bukanlah karena kebaruannya atau pun keanehannya, melainkan karena kualitas pengalaman tersembunyi yang diangkatnya ke permukaan , karena insight- barunya bagi kehidupan maupun bagi kiprah berkesenian. Jadi, kebaruan dan keanehan itu hanyalah konsekuensi dari kedalaman pengalaman yang dikandung karya itu.

Dasar Kreativitas
Menjadi jelas kini bahwa kreativitas yang baik adalah manifestasi menggelegaknya intensitas penghayatan dan penyelaman kehidupan. Sebuah karya akan muncul sendiri sebagai luapan dari kian penuhnya sari-sari pengalaman yang telah kita hisap. Maka yang sesungguhnya muncul dalam karya yang baik bukanlah subyektivitas si senimannya, melainkan The truth of reality, kebenaran eksistensial itu sendiri. Memang si seniman mereka-reka, tapi rekaan-rekaanya itu hanyalah ibarat menmbuatkan saluran-saluran agar air sari yang telah meluap itu bisa mengalir keluar. Tak heran bila Heidegger menyebut karya seni yang baik sebagai The Happening of Truth itself. Kebenaran yang mendadak menyeruak dan menyadarkan kita pada berbagai kepalsuan dan kemandegan selama ini. Dengan begitu karya seni yang baik selalu serentak tampil sebagai sebuah kritik, immanent critique, kata Adorno.
Kualitas kreativitas macam itu timbul hanya bila pola relasi kita dengan realitas adalah pola yang "bermain" (playful). Artinya pola relasi yang ditandai dengan dialektika timbal balik antara 1. memberi bentuk dan menangkap makna realitas yang tak berbentuk,2. penciptaan dan penemuan,3. menguasai realitas dan membiarkan diri dikuasai realitas,3. upaya berrefleksi dan menenggelamkan diri dalam pengalaman-pengalaman pra-reflektif dan akhirnya 4. penguasaan sistem-sistem baku dan pemahaman kenyataan-kenyataan real.

MENIJAU ULANG SENI DAN ESTETIKA BARAT

Oleh : Bambang Sugiharto

Posisi seni dalam percaturan wacana estetika hari ini telah menjadi tidak jelas. Ada banyak unsur yang telah melahirkan banyak perubahan mendasar di sana. Makalah ini bermaksud menyiangi apa saja kiranya hal-hal mendasar yang telah berubah, dan sebagai dampaknya, dalam percaturan budaya global kini bagaimana seni sebaiknya dipahami, berfungsi dan diapresiasi.

Pewacanaan dan Pelembagaan ‘Fine-Art’

Perenungan tentang gejala yang disebut ‘seni’ dan ‘estetika’ di dunia Barat telah berlangsung sejak filsafat Yunani, 2500an tahun yang lalu, namun anggapan tentang seni sebagai ‘fine arts’ –yang berawal dari istilah artes liberales di kalangan kaum umanisti, yaitu sebagai kegiatan kontemplatif orang-bebas yang terpisah dari ranah sehari-hari- baru muncul sekitar masa Renesans abad 15, dan menjadi mapan di jaman Pencerahan abad 18 lewat istilah Les Beaux Arts ( Charles Batteaux dan D’Alembert ). Pada abad Pencerahan yang sama muncul pula istilah ‘Estetika’ atau ‘Aesthetics’ -lewat gagasan Alexander Baumgarten- sebagai medan wacana yang memperbincangkan fine arts itu . Artinya, sebelum itu di dunia Barat pun kegiatan ‘estetik’ adalah bagian dari kekriyaan yang erat terkait pada ritual keagamaan, pengalaman ketersentuhan batin, dunia kegunaan, hiburan, kecenderungan menghias, dsb. seperti yang terjadi di banyak tempat lain.
Masalahnya adalah, reflektivitas dunia Barat memang cenderung memburu pemahaman-pemahaman verbal-konseptual tentang gejala estetik itu , yang di satu pihak merupakan pencarian mendalam hakekat ‘seni’, namun di pihak lain menjadi semacam pembatasan-pembatasan yang membuat seni menjadi fenomena eksklusif, dan dengan begitu, ironisnya, justru mengerdilkan seni juga. Pada refleksi filsafat Barat misalnya, salah satu tonggak penentu di era modern yang telah membentuk kecenderungan eksklusivitas seni itu adalah Immanuel Kant. Sejak Kant, pengalaman estetik dipahami sebagai persepsi kontemplatif yang tanpa pamrih ( disinterested/ purposiveness without purpose ), yang menangkap obyek/alam tanpa tujuan lain selain sebagai obyek itu sendiri ; semacam pengalaman ketersergapan oleh keindahan, kesenangan dan sesuatu yang ‘sublim’, yang ditimbulkan oleh obyek tertentu (Kant 1951 : § 24). Karenanya, sang seniman yang mampu mencipta karya seni orisinal dan mampu memicu pengalaman sublim itu dianggap sebagai ‘genius’ (Ibid : § 46). Dan seni yang serius itu adalah ‘fine arts’, yaitu kegiatan imajinasi kreatif yang, berdasarkan bahan alamiah, menciptakan suatu karya yang melebihi alam itu sendiri. Isi karya seni itu pada dasarnya adalah ide-ide rasional (seperti ‘cinta’, ‘kematian’, ‘kecemburuan’, dst.) yang ditangkap lewat intuisi dan dipresentasikan dalam bentuk simbolik (Ibid :§ 49).
Filsafat Hegel mengolah lebih lanjut kaitan antara seni dengan ide rasional itu. Baginya seni memang sarana ke arah perkembangan ruh penalaran rasional melalui sejarah manusia. Dengan mengungkapkan atau melukis (lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri), ruh melahirkan efek-efek sepanjang sejarah , yang pada gilirannya lantas memungkinkan ruh itu merenungkan tindakan-tindakannya sendiri. Sejarah seni adalah proses ‘dematerialisasi’, proses penghabluran dari realitas material-wadag menuju ke bentuk yang makin abstrak, yaitu berawal dari arsitektur, menuju seni patung, lukisan, musik, lantas puisi (Hegel 1975: 88). Namun seni sampai pada kesadaran-diri hanya pada filsafat. Idea-idea yang awalnya tersembunyi dalam karya seni akhirnya ditampilkan oleh filsafat yang merefleksikan dan memahami kandungan misteri di balik karya-karya seni itu. Ketika akhirnya ‘filsafat-seni’lah yang tampil, maka serentak ‘seni’ itu sendiri berakhir, The End of Art (Ibid : 90-103). Pada titik itulah Ruh akal-budi bertemu dengan dirinya sendiri (ide-ide rasional) tanpa diperantarai oleh medan penginderaan (seni). Gagasan-gagasan macam inilah yang ikut menciptakan citra tentang ‘Fine Arts’ alias seni sebagai sejarah rohani yang luhur dan tersendiri, terpisah dari kegiatan-kegiatan banal sehari-hari.
Filsuf lain, Nietzsche, melihat fenomena seni pada arah yang lebih ambigu. Dari perspektif ‘Dionysian’, ia lihat seni sebagai pengalaman kemabukan atau kesatuan intens manusia dengan realitas di luarnya, yang memungkinkannya menangkap sekelebat kebenaran terdalam, seperti pengalaman tentang yang ‘sublim’ pada Kant (Nietzsche 1967 : 60). Dari sudut Apollonian ia melihat keterkaitan seni pada idea-idea rasional (seperti yang diagungkan Hegel) sebagai sekedar permainan permukaan yang ilusoris, palsu, penuh kebohongan (1967: 34). Meskipun demikian, sebagai ‘kebohongan yang disucikan’, seni justru memerindah hidup, membuat hidup jadi tertanggungkan. Seni memasang tirai kebohongan antara kita dan kebenaran sejati yang sebenarnya tak tertanggungkan (1969 : 153).
Sebagai fenomena khusus dan istimewa itu lantas ‘seni’ (Fine Arts) makin gencar diburu, ditelaah hakekat dan kodratnya sebagai primadona oleh berbagai filsuf lain juga . Di wilayah teoretis ia telah dikaji misalnya dari sisi konstruksi kebendaannya (Clive Bell, Roger Fry) , tujuan-tujuannya ( Croce, Collingwood), ciri-ciri khas perilaku dan proses yang dikandungnya (Langer, Gadamer), keunikan pengalaman yang ditimbulkannya ( Dewey, Beardsley ), wacana sejarah yang meriwayatkannya (Wollheim, Levinson), institusi ‘dunia seni’ yang menyangganya ( Danto, Dickie ), sistem-sistem narasi yang mengartikulasikannya (Carroll), konsep ‘cluster’ yang mengklasifikannya (Weitz, Gaut), mekanisme kognitif yang menjalankannya ( Gombrich, Currie), dst.dst.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa, kendati segala antusiasme dan intensitas penelitian di atas, paradigma seni macam itu akhirnya mesti menghadapi krisis kewibawaan juga, dari dalam maupun dari luar.

Perubahan Paradigmatik

Istilah ‘Berakhirnya seni’ (The End of Art), yang telah dipicu Hegel di abad 19 ternyata bergema kembali dengan kuat di penghujung abad 20, melalui para tokoh seperti Adorno, Danto, Burgin, Kosuth, dan Foster dalam konteks yang baru. Demikianlah dalam perkembangannya, intensitas reflektif-kontemplatif fine arts terus menerus berupaya melepaskan diri dari keterbatasan material dan keterikatannya pada medan bentuk dalam rangka merogoh dimensi-dimensi batin paling tersembunyi. Maka seni menjadi eksperimentasi ‘perusakan’ bentuk tak berkesudahan -dari Impressionisme hingga Surrealisme- sampai akhirnya Duchamp meledakkannya dalam parodi ‘benda pakai’ yang mempertanyakan kembali “Apa sih seni itu ?” (Burgin 1986, Danto 1997). Pertanyaan dasar ini di kemudian hari diradikalkan oleh Warhol, dan hasilnya adalah kontradiksi : di satu pihak seni menjadi apa pun juga tanpa pretensi filosofis sama sekali, di pihak lain ia menerobos segala konfigurasi bentuknya dan justru menjadi sangat filosofis.
Sejak itu dunia seni diwarnai tendensi avantgardisme yang berkecenderungan senantiasa keluar dari kesempitan kerangkeng-kerangkeng kategorialnya sendiri. Modalitas seni-rupa berubah terus: dari keterikatannya pada medium (medium-specific), menuju keterikatan pada situs tertentu (site-specific), berubah lagi menjadi tergantung pada pewacanaannya (discourse-specific), lalu kini sepertinya sangat ditentukan oleh konteks persoalan sosio-kultural konkrit ( context-specific ). Fokus nilainya juga berubah : dari soal keindahan, ke soal teknis, lantas menjadi perkara makna, berubah lagi ke efek sensasi, dan akhirnya kini ke proses-proses signifikansi bersama antara seniman, karya dan apresiatornya. Lokus kiprah seni-rupa pun bergeser : dari galeri pribadi, ke museum, lantas ke medan-medan institusi, masuk ke jaringan wacana media, dan akhirnya kini melebur ke wilayah sosio-kultural sehari-hari. Obyek garapannya berubah pula : dari ‘olah-rupa’ pada seni dua-dimensi, ‘olah-bentuk’ pada seni-instalasi, ‘olah-media’ pada seni multi-media, ‘olah-peristiwa’ pada happening, ‘olah-tubuh’ pada performance-art, dan ‘olah-konsep’ pada program-program sosio-kultural.
Semua pergeseran itu menunjukkan bahwa pretensi seni sebagai fine-arts -sebagai wilayah eksplorasi pribadi menuju titik-titik terhalusnya- akhirnya sangat diwarnai kecenderungan ‘pembatalan-diri’ terus-menerus (self-canceling process ). Aliran demi aliran muncul dan ‘dibatalkan’ oleh aliran berikutnya. Seperti kita lihat diatas, yang menarik dalam sejarah perubahan itu adalah bahwa penyempitan kategorial awal dan pengeksklusifan fenomena seni terus-menerus didobrak hingga akhirnya ‘seni’ dikembalikan lagi pada konteks hidup sehari-hari, menjadi fenomena biasa saja. Pemilahan awal antara ‘seni-tinggi’ dan ‘seni pop’ tak lagi dianggap berarti. Semua ini adalah rangkaian perubahan dari dalam dunia seni sendiri.
Kecenderungan kritis di dalam dunia-seni itu diperparah pula oleh dinamika sosial-budaya di luarnya, yang akhirnya pun menggugat konsep eksklusivitas ‘fine arts’ ala Aufklärung Barat itu. Suasana interaksi global hari ini dan perkembangan studi Antropologi makin menyadarkan orang bahwa posisi dan hakekat ‘seni’ di berbagai kebudayaan bisa sangat berbeda dari konsep ‘seni’ dalam paradigma Barat. Pandangan Pencerahan Barat bahwa karya seni mesti diukur dari kriteria formalnya, bahwa bobot sebuah ‘adikarya’ tergantung pada kandungan konseptual-rasionalnya, atau bahwa sebuah adikarya haruslah mengatasi keterbatasan konteks lokal yang melahirkannya misalnya, tidak selalu sesuai dengan berbagai pandangan tentang ‘seni’ pada budaya lain. Bobot karya seni dalam budaya India misalnya, tidak ditentukan oleh kualitas formal atau kedalaman idea yang dikandungnya, melainkan oleh kemampuannya menggerakan ‘rasa’ ke arah pengalaman kesatuan mistik dengan Brahman. Standar realisme dalam formalisme Barat juga tidak bisa dipakai untuk menilai patung-patung suku Yoruba di Nigeria yang berprinsip ‘jijora’ yakni ‘mimesis pada titik tengah’, antara keserupaan dan abstraksi. Seniman akan membuat patung dengan figur yang hidup akan tetapi tidak boleh mirip sosok seseorang yang konkrit secara khusus, sebab sosok itu bisa terkena kekuatan magis jahat yang tersalur lewat patungnya (Thompson 1968) . Konsep ‘keindahan’ dan ‘kekuatan’ ( awet, tahan lama) yang penting sebagai ukuran karya seni Barat juga tidak berlaku untuk karya-karya seni suku Navajo, sebab pada budaya Navajo bobot karya seni tidak terletak pada keindahan atau keawetannya, melainkan pada daya penyembuhannya. Betapa pun indahnya, lukisan pasir Navajo bisa langsung dihapus setelah ritual penyembuhan. Pada suku Kaluli di Papua Nugini bobot sebuah topeng juga tidak terletak pada konstruksi formal atau keindahannya, melainkan pada masuk atau tidaknya ruh leluhur ke dalamnya hingga si penari bertransformasi menjadi burung saat ia menari mengenakannya. Jika dalam estetika Barat seni tak mesti berkaitan dengan etika, dalam tradisi Konfusian seni adalah justru sarana penting untuk mengembangkan etika. Dalam tradisi Cina pengendalian diri adalah pelajaran yang diharapkan timbul dari membuat kaligrafi, melukis atau memainkan alat musik zither yang tanpa fret misalnya. Posisi epistemologis seni di dunia Barat pun bisa berbeda dari posisi epistemologis seni dalam budaya lain. Dalam falsafah budaya Aztec, seni bukanlah sekedar pengetahuan rasional terselubung seperti yang dibayangkan Hegel, melainkan sungguh-sungguh jalan menuju pengetahuan hidup yang sejati, pengetahuan tentang realitas di balik yang tampak, yang justru tak bisa dimasuki oleh pendekatan rasional (Higgins, 2003) Pandangan budaya Jawa pun tak jauh beda dengan ini.

Seni yang multikultur dan sehari-hari

Dari berbagai perkembangan kritis internal dunia seni Barat maupun tendensi kritis dari pemahaman atas keragaman budaya dalam interaksi global saat ini makin berkembanglah kesadaran bahwa sesungguhnya pengalaman yang biasa disebut ‘estetik’ ( pencerapan lewat kepekaan inderawi ) itu sangatlah luas. Bersama itu di sadari pula bahwa kriteria dan konotasi tentang apa yang disebut ‘seni’ pun demikian berragam. Sebenarnya keterkaitan erat antara gejala yang disebut ‘seni’ dengan ritual keagamaan, dengan kekriyaan, dekorasi, hiburan , penataan lingkungan, fungsi-fungsi sosial, kesehatan, dst. bagaimana pun jauh lebih lazim dan umum daripada anggapan bahwa seni adalah wilayah khusus yang bersifat elitis dan esoteris. Umumnya gejala yang disebut ‘seni’ awalnya menyatu dengan praktik keagamaan. Di dunia Barat pun drama dan epik Yunani berasal dari ritual keagamaan. Sama halnya karya-karya besar abad Pertengahan, Renesans, Barok atau pun Klasik. Sejarah seni di Barat juga tak bisa dilepaskan dari keterlibatan para artisan yang bekerja melayani kebutuhan-kebutuhan praktis. Kecenderungan menghias adalah tendensi estetik yang demikian umum juga di hampir segala kebudayaan hingga kini: dari sejak menghias tubuh, menghias rumah, taman, pakaian, sampai makanan. Dalam banyak kebudayaan, membangun dan menghias rumah, atau memasak dan menghias makanan bisa bermakna sangat filosofis, tak ubahnya seperti yang biasa digolongkan sebagai ‘fine arts’ di dunia Barat. Dari segala ilustrasi di atas itu kian jelas bahwa dalam situasi realnya gejala yang disebut ‘seni’ dan ‘estetika’ umumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan keagamaan, kekriyaan , etika, dan berbagai aktivitas sehari-hari kehidupan masyarakat. Dan kenyataan bahwa eksklusivitas fine-arts pun akhirnya terdobrak oleh dinamika dalamnya sendiri maupun dari interaksi luarnya menunjukkan bahwa pengisolasian eksklusif fine-arts itu sebenarnya artifisial.
Yang menarik adalah bahwa kecenderungan ke arah perubahan paradigmatik di atas sebagiannya juga dipicu oleh pemikiran para filsuf abad 20 di dunia Barat sendiri. Diantaranya adalah pemikiran Dewey, Heidegger, Gadamer, Scharfstein dan Berleant.
John Dewey melihat keterkaitan erat antara seni dan pengalaman sehari-hari. Baginya seni berakar pada pengalaman-pengalaman yang intens dan koheren seperti pengalaman tentang makanan yang mengesankan, misalnya. Karya seni membantu memformulasi dan me-reartikulasi pengalaman manusia , mengajar kita bagaimana sebaiknya melihat dan merasa (Dewey 1934). Heidegger melihat seni sebagai siasat untuk memantapkan dan mengubah persepsi sehari-hari; membukakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menafsirkan kenyataan dan dengan itu setiap kali menciptakan kembali dunia manusia yang khas dan baru ( Heidegger 1971). Gadamer melihat karya seni dalam kerangka ‘permainan’. Seni adalah pengalaman keterleburan intens antara subyek dengan dunia di luarnya, dan pengalaman semacam itu sebenarnya terjadi dalam hidup sehari-hari. Hanya saja dalam penikmatan karya seni pengalaman itu menemukan intensitas keterleburan yang padat ( Gadamer 1975). Agak mirip dengan Gadamer, meski lewat jalur yang berbeda, Scharfstein melihat seni dari sisi fungsional, yaitu bahwa seni memungkinkan manusia menyatu (fusion ) dengan realitas lebih besar di luar dirinya : menyatu dengan lingkungan, dengan manusia lain dan masyarakatnya, dan akhirnya dengan realitas transendental (Scharfstein 1988). Berleant mengeritik kerangka pandang Kantian yang menuntut perpektif berjarak atas karya seni. Ia justru memromosikan estetika yang bersifat partisipatoris, dan dengan begitu ia selanjutnya mendukung pandangan bahwa seni adalah bagian dari pengalaman sehari-hari yang bersifat kontekstual-kultural (Berleant 1991).

Reposisi Seni dalam Konteks global kini

Perubahan paradigmatik dalam dunia fine arts sendiri maupun kesadaran makin kuat ihwal keterkaitannya dengan pluralitas kultur dan kehidupan sehari-hari memang akhirnya melahirkan ketidaktentuan. Alhasil kini seni bentuknya plural, praktiknya pragmatik, dan medan-seninya multikultural. Dan nyaris tak ada ukuran untuk menilai bobotnya secara universal dan seragam. Namun satu hal kiranya jelas, bahwa dari sisi intensinya, apa pun bentuknya dan disebut sebagai fine art atau tidak, pada karya-karya seni yang diciptakan dengan intensi reflektif-kontemplatif tuntutan penafsiran dan apresiasinya tetaplah berbeda dibandingkan dengan karya-karya yang diciptakan dengan intensi lainnya. Kiranya perbedaan tetaplah sesuatu yang alamiah dan merupakan sebuah kewajaran. Ada banyak jenis karya seni, dan semua boleh saja disebut sebagai ‘seni’, karenanya ada pula karya-karya seni yang memang reflektif dan menuntut apresiasi tersendiri. Masalahnya hanyalah : dimanakah tempat bagi karya-karya seni jenis reflektif itu dalam konstelasi budaya saat ini ?
Budaya global kini ditandai dengan hilangnya koherensi, erosi konsistensi, dan longgarnya kohesi. Tanpa standard normatif yang kokoh, individu menjadi ajang percaturan kekuasaan informasi, teknologi, politik, dan ekonomi; tercabik oleh dilema antara homogenitas dan heterogenitas, antara ortodoksi dan heterodoksi.
Dalam aneka konflik dan trauma yang ditimbulkan oleh situasi-situasi dilematis itu sensibilitas para seniman memungkinkannya menyelam ke balik permukaan, seringkali dengan cara memerkarakan permukaan atau memermainkannya. Tentu kepekaan macam ini menuntut si seniman memahami kompleksitas dan sisi-sisi ilusoris kenyataan. Dalam situasi dimana proses individuasi menuntut interaksi antara gerakan mikro dan jaringan makro, kekuatan seni yang reflektif akan terletak pada kemampuannya mengidentifikasi bagaimana subyek kontemporer menyembunyikan ketakberdayaan dan kemarahannya, dimana ia mencari perlindungan atau melarikan diri dari kekerasan permainan, misalnya. Namun secara lebih produktif para seniman dapat mendukung dan menciptakan ruang-ruang alternatif baru yang memungkinkan permainan kekuasaan yang berbeda dalam jaringan yang berbeda pula, jaringan yang dapat menyalurkan aspirasi-aspirasi baru dan rasa kedirian baru, kedirian yang barangkali ‘nomadik’. Demikian, manakala ‘dunia-seni’ yang eksklusif seperti menghilang, hubungan-hubungan essensialnya dengan kehidupan barangkali justru kembali terbilang.
Kepustakaan
Berleant, A.(1991) Art and Engagement, Philadelphia : Temple University press
Burgin, Victor (1986) The End of Art Theory : Criticism and Postmodernity , Atlantic Highlands, NJ : Humanities Press international
Danto, Arthur (1997) After the End of Art, Princeton : Princeton University Press
Dewey, John ( 1934) Art as Experience, New York : Minton Balch
Gadamer,H.G.(1975) Truth and Method, New ork : Crossroad
Hegel, G.W.F, (1975) Aesthetics : Lectures on Fine Arts, trans. T.M.Knox, Oxford : Oxford University Press
Heidegger, M (1971) ‘The Origin of the Work of Art’, trans. A. Hofstadter, dalam Poetry, Language and Thought, New York : Harper Collins
Higgins, Kathleen (2003) ‘Comparative Aesthetics’, Jerrold Levinson (ed), The Oxford Handbook of Aesthetics, Oxford : Oxford University Press
Kant,I (1951) Critique of Judgment, trans. J.H. Bernard, New York : Haffner
Nietzsche, F ( 1967) The Birth of Tragedy, trans. W.Kaufmann, New York : Vintage
_______ ( 1969 ) On the Genealogy of Morals, trans. W.Kaufmann and R.J. Hollingdale, New York : Vintage
Scharfstein, B (1988) Of Birds, beasts, and Other Artists, New York : New York University press
Thompson, R.F (1968) ‘Aesthetics in traditional Africa’, Art News 66


Bambang Sugiharto, gurubesar filsafat dan pengamat seni-budaya, mengajar di UNPAR dan ITB. E-mail : ignatiussugiharto@yahoo.com